Cerpen yang Endingnya Mengejutkan
“Si A ternyata pelakor."
“B selingkuh dengan C!”
“E dan D cerai karena D tak hebat di ranjang!”
“F mau poligami!”
Desas-desus mengenai kabar terbaru di desa X selalu menyebar secepat angin berhembus. Grup-grup chat dipenuhi notifikasi yang menghidupkan berita-berita murahan tersebut. Entah pria ataupun wanita, gosip-gosip sekitar rumah tangga tetangga selalu menjadi topik yang berdaya tarik tinggi. Orang-orang pemakan gosip itu merasa bangga mengetahui aib orang lain sekaligus berusaha rapat-rapat menutupi bau diri sendiri.
Salah satu yang menjadi topik hangat adalah orangtuaku. Ibuku yang seorang janda disebut-sebut sebagai pelakor alias perebut laki orang. Gosip tersebut muncul karena tetangga bernama Pak G yang teman lama ibu pindah ke dekat rumah kami, sering pergi bersama ke acara reuni, dan sering mengobrol terutama di media sosial. Yang menyematkan istilah pelakor pada ibuku adalah istrinya pak G. Dari kabar burung yang terdengar, istri pak G membaca chat antara A (ibuku) dan pak G yang diyakini lebih dari chat antar teman. Aku pernah memeriksa ponsel ibuku, menurutku biasa saja. Emoticon yang dipakai oleh mereka berdua adalah emoticon standar seperti pipi memerah. Well, untuk generasiku emot pipi memerah adalah tanda malu tapi belum tentu ada perasaan. Mungkin, generasi baby boomers menganggapnya lain.
Ketika makin besar isu itu, aku mengintrogasi ibu. Ibu tertawa, berkata kalau ia tak mungkin menghianati mendiang ayah. Meski begitu, ibu yang keras kepala –tidak menjaga jarak pada pak G- membuat air semakin keruh, gosip semakin bergemuruh.
Gosip ibuku pelakor tidak hanya menimpa ibu tetapi aku juga. Di sekolah, aku menerima ejekan “anak pelakor” dan dilempari batu-batu kecil. Aku sempat kesal dan berteriak, “Lempar dengan duit merah dong seperti video yang viral itu!” tapi aku malah diejek. Aku digencet dan ibuku hanya diam saja, memintaku bersabar padahal semua itu bisa terhenti kalau ibu dan pak G jaga jarak, memberikan klarifikasi terhadap prasangka buruk orang lain. Semakin didiamkan, maka spekulasi mengenai gosip tersebut akan menjurus pada “pembenaran”.
Suatu hari, aku mengundang para tetangga terutama yang sudah mengejekku “anak pelakor” ke rumah. Aku ingin melakukan klarifikasi, membersihkan nama baik ibuku meski yang kulakukan ini tidak mendapat izin ibu. Wajah tetangga-tetangga itu berseri, masing-masing mereka memegang satu mangkuk berisi sup daging. “Ini hadiah saya untuk tante dan om sekalian, untuk teman-teman juga. Karena gosip yang beredar tentang ibu saya yang pelakor, saya jadi lebih waspada dan menjaga ibu lebih ketat agar tidak menjadi omongan orang lain. Gosip yang kalian edarkan saya anggap sebagai peringatan agar ibu lebih berhati-hati lagi dalam bersikap. Terima kasih.”
Sayangnya, ibu tidak mau menemui para tetangga yang telah mencibirnya selama ini. Jadi, akulah sang tuan rumah dan pengurus tamu-tamu tersebut. Di akhir perjamuan, mereka mendadak mual dan muntah-muntah. Seseorang yang berada di dapur pun berteriak, “Apa yang kau berikan pada kami!?”
Beberapa orang yang masih bisa berjalan menuju orang yang berteriak itu, aku tersenyum lembut sambil mengangkat sebuah jantung yang tergeletak di meja dapur. “Surprise! Orang yang suka bergunjing itu ibarat memakan bangkai saudaranya sendiri. Dan, yang baru saja kalian santap adalah… bangkai orang yang kalian gunjingkan.”
Mereka menatapku nanar, bibirku tersungging.
-Perjamuan oleh Ariestanabirah-
Komentar
Posting Komentar