Perjuangan Mimpimu!

Saya orang yang keras kepala, apalagi soal impian. Saya harus mendapatkan yang saya mau karena saya ingin, saya belajar, dan saya bisa.

Saya selalu bingung dengan orang--teman--yang berkata, "Aku nggak punya impian. Aku iri padamu yang punya passion."

Karena sejak kecil saya tahu apa yang saya mau, saya jadi tidak paham rasanya tak ada hasrat (passion)/mimpi yang benar-benar dikejar tanpa henti. Ya, walau dalam kasus saya, ada ketika saya memilih jalan yang sesat karena menganggap mimpi saya bisa terwujud bahkan tanpa terjun ke dunia teknisnya (dalam hal ini, saya merasa tak perlu kuliah sastra untuk mewujudkan mimpi jadi novelis). Namun, ketika lulus kuliah dan bertemu orang yang mengambil jalan teknis itu (kuliah sastra) dan melihat bagaimana ia menulis, saya menyesal.

Saya bermanuver, saya ingin belajar demi menghidupkan mimpi. Jadi, saya lanjut kuliah dan kali ini memilih sastra.

Satu-dua tahun sebelum masuk kuliah sastra, saya "debut" sebagai novelis indie dan mayor. Hasil finansialnya kalau dibandingkan dengan gaji karyawan UMR mah jelas kalah jauh (bahkan dipotong pajak 15% pula). Namun, kepuasan mencapai sesuatu yang diperjuangkan itu yang membahagiakan. Saya puas ketika tulisan saya ada di rak toko buku. Ada sembilan tahun penantian/latihan sampai tulisan saya dikatakan layak untuk terbit.

Dulu sih muluk, saya maunya novel saya "best seller" lalu diadaptasi jadi film. Tetapi, saat ini target saya mengecil, cukup menjadi penulis aktif yang menerbitkan satu novel dalam satu tahun. Dari 2015 sampai tahun ini target itu berjalan, entah tahun depan (ketawa).

Impian berikutnya adalah menjadi editor komik. Saya suka baca komik sejak kecil tetapi baru mengoleksi ketika SMA. Sewaktu kakek suka memberi uang pensiunnya untuk cucu-cucunya 🙈. Hingga sekarang saya masih rutin membeli dan membaca komik. Di tengah hobi itu, saya sempat menyesal mengapa tidak ambil jurusan sastra Jepang, saya bisa menjadi editor komik--kerjaannya enak: baca komik, ngedit, nyari komik. Ya, begitulah... Dunia kerja yang menurut saya hanya jadi angan saya karena tiap lihat iklan lowongan penerbit komik, syaratnya adalah: S1 sastra Jepang/Korea/Mandarin. Oke, saya nggak bisa.

Tetapi, saya bukan peramal industri komik. Komik Indonesia mulai bangkit lagi dan akhirnya saya melamar ke sebuah agensi komik Indonesia. Tak lama, saya dipinta mengikuti pelatihan (+/- 3-4 minggu) dan mengerjakan tes akhir editor.

Ta-ra!
Beberapa hari lalu saya dikabari kalau saya diterima menjadi editor komik web dan harus menjalani masa percobaan dahulu. Oke, kemarin saya dijelaskan alur kerja dan berkenalan dengan tim dan "anak-anak (para komikus) yang akan saya editori.

It's happened!

Ketika saya merasa tidak bisa dengan kualifikasi saya, ternyata ada jalannya. Dan saya merasa jalan menjadi editor di agensi ini lebih mulus jika dibandingkan dengan jalan saya di berbagai tes editor lainnya.

Tadi saya mempelajari bahan-bahan kerjaan, saya tertawa membaca sebuah name; penasaran bagaimana episode selanjutnya; ternyata komik web favorit saya akan saya editori season selanjutnya; dan lain-lainnya. Dunia editorial komik adalah sesuatu yang baru untuk saya; kalau jadi editor novel dan nonfiksi saya pernah, hanya fokus ke ejaan dan konten. Namun, komik berbeda! Panel, pewarnaan, balon dialog, per episode, desain karakter... Lebih kompleks, lebih seperti belajar skenario menurut saya.

Sekarang hari-hari baru saya sebagai editor dimulai 😎.

Cukup?

No!

Saya masih mau mencoba mewujudkan impian-impian lain, ya... Masih di area seni semua sih. Saya ingin belajar membuat skenario, menulis nonfiksi, dan mengaransemen musik.

Dari perjalanan saya ini, saya harap pembaca dapat mengambil maknanya: Ketika kau tidak menyerah pada mimpimu, kau pasti dipertemukan dengan jalan yang sesuai meski harus menunggu sekian tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru