Perjalanan Kuliah

Waktu ambil S1 dulu, saya menuruti pilihan ortu saya, "Teknik Informatika". Dan, lulus... Padahal saya nggak minat sama sekali dan udah diwanti tentor bimbel kalau jurusan itu isinya ya... Ada Matematika yang notabene bukan teman baik saya. Di semester awal, saya "cuma" dapet indeks prestasi sebesar 2,5. Satu-satunya nilai A adalah bahasa Inggris, sisanya...  B dan C. Terutama nilai C, wah.. Bertaburan. Semester duanya juga gitu, 2,75 kalau tidak salah ingat (?). C bertebaran dengan cantik terutama di pelajaran perogramman dan fisika. Lebih parah di semester tiga, ada nilai D (Statistika Komputasi). My God, saya memang berusaha untuk jadi anak baik (bikin tugas, dateng nggak pernah telat, nggak berulah) tapi... Emang kapasitas otak tak memadai.

Semester empat, nilai saya mulai membaik dengan semua nilai "B". Sejak itu, saya tidak pernah lagi merasakan nilai C (alhamdulilah yak). Meski masih tidak merasa senang berada di jurusan itu, saya punya alasan lain untuk tetap stay. Saya juga tidak berani untuk drop out atau pindah kampus, pindah jurusan, karena merasa waktu dan uang yang diinvestasikan di kuliah S1 ini sia-sia. So, saya harus bertahan sebisa mungkin.

Semester lima, enam, tujuh, delapan... Nilai saya semakin "membaik" dan saya bisa mengatakan kalau saya menyukai pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan analisis (bukan mengkoding). Di semester tujuh-delapan saya kerja praktik, di semester delapan juga saya mengajukan proposal skripsi (Tugas Akhir 1).

Setelah tiga kali ganti judul, saya menjalani tugas akhir 1 dengan perasaan campur-aduk. Pernah saya down karena saya tidak bisa menghitung menggunakan metode yang saya pilih, sampai pembimbing nanya apakah saya pernah belajar metode itu? (kelihatan sekali kebodohan saya waktu itu).

Tugas Akhir adalah saat terberat dan membuat depresi bagi saya. Beberapa bulan saya tidak menyentuhnya, tidak mengerti, tidak tahu harus seperti apa karena saya tidak bisa mengkoding.

Selama depresi, saya mengikuti kompetisi novel yang diadakan dua penerbit. Semua gagal, tapi saya bisa lepas sebentar dari depresi.

Lalu, satu per satu teman sekelas mulai lulus. Saya makin ketakutan dan berpikir mungkin saya akan drop out. Waktu itu benar-benar pesimis.

Dan, entah bagaimana, saya berhasil mengotak-atik program punya teman yang metodenya sama dengan saya, dihybrid dengan program orang lain yang memakai rumus sama dengan saya. Di semester sepuluh, saya maju sidang Tugas Akhir 2 (sidang program) dan komprehensif.

Setelah lulus, saya kehilangan arah. Saya tak yakin kalau saya bisa menggunakan ijazah S1 itu untuk bekerja. Saya tidak mau depresi karena pemrogramman, saya tidak mau lagi melakukan sesuatu yang "bukan saya". Karena itu, saya frustrasi lagi, saya tidak tahu mau ke mana dan jadi apa.

Lalu, saya memulai debut menjadi penulis novel di penerbit mayor. Saya diberi kesempatan oleh Tuhan melalui sebuah gathering. Meski tidak terlalu terjual baik, saya memiliki kebanggaan, sebuah hadiah untuk impian yang sejak dulu diusahakan.

Setelah perilisan novel mayor pertama saya (dan tim), seorang teman menyarankan saya untuk kuliah lagi, mengambil jurusan sastra sesuai minat saya.

Wah gila, saya mana mau kuliah lagi?! Apalagi bermanuver dari Komputer ke Sastra?

Namun, di satu momen, saya merasa iri pada penulis yang berasal dari jurusan sastra, karena mereka bisa menulis dengan "baik", keren pokoknya dibandingkan saya yang apalah ini.

Saya lantas mengutarakan niat kuliah lagi ke ortu sembari mencari beasiswa. Mereka sih oke-oke saja. Lalu, saya daftar S2 di Ilmu Susastra UI yang untung saja menerima lulusan S1 dari jurusan apa pun.

Saya lolos SIMAK UI untuk pascasarjana, dan mengambil konsenstrasi Cultural Studies yang ada di bawah jurusan Ilmu Susastra. Selagi kuliah, saya mengikuti tes beasiswa... Sebanyak empat kali dan gagal total.

Wah, rasanya dongkol banget karena gagal beasiswa. Awalnya saya pede kuliah dibiayai pemerintah, tapi ternyata... Ortu saya harus berbagi rezekinya untuk saya.

Selama dua tahun, saya sangat menikmati kuliah S2, belajar teori-teori terkait sastra dan budaya lalu meneliti novel Wattpad di Indonesia.

Rasanya lancar sekali, tidak seberat kuliah S1 atau Tugas Akhir S1. Benar-benar fun walau saya harus ekstra belajar karena basic saya bukan S1 sastra. Efek dari pemilihan jurusan ini adalah dari hati kali, ya?

Oh ya, kemarin, saya ujian tesis. Meski ada beberapa kesalahan teknis, saya melewati ujian tersebut.

Kapan-kapan, saya akan bercerita soal Cultural Studies 😆.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru