Kuliner di Pasar Lama
Penulis
melakukan perjalanan ke Pasar Lama Tangerang pada akhir pekan, 15-16 April 2017
untuk etnografi dengan fokus tema kuliner Pasar Lama, terkait hibriditas pada
makanan dan logo halal. Penjelajahan dimulai pukul 10 pagi, menyusuri jalan
Kisamaun yang berada di samping Stasiun Tangerang, dengan gerbang Kawasan Kuliner Pasar Lama sebagai
penanda kalau jalan tersebut pusatnya kuliner di Pasar Lama dan berakhir
sekitar pukul 7 malam di hari pertama dan jam 10-12 siang di hari kedua.
I. Pasar Lama
Pasar
Lama adalah sebuah kawasan pasar yang terletak di kota Tangerang, di barat
sungai Cisadane. Boedi (2016) menyebut Pasar Lama sebagai satu kampung di
Tangerang sekaligus pecinan yang tua dengan ciri vihara Boen Tek Bio (1684).
Kawasan ini dibatasi ruas jalan dan sungai Cisadane sebelah timur, Kampung Kali
Pasir di selatan, kompleks Pendopo Kabupaten Tangerang di sisi barat, serta
ruas jalan Kisamaun dan Pasar Baru di sebelah utara.
Wilayah
ini terdiri dari beragam latar budaya masyarakat seperti Sunda dan Cina,
menyebabkan keragaman dari segi keyakinan (Buddha, Konghucu, Islam, dan
Kristen); ditandai juga dengan adanya vihara, mesjid dan gereja di sekitar/di
dalam area Pasar Lama.
Kata
Pecinan yang identik dengan keturunan Cina melekat sebagai identitas Pasar Lama.
Sebagai orang awam yang tidak pernah ke Tangerang apalagi Pasar Lama, citra
Pasar Lama yang muncul pun adalah sebuah kawasan pasar yang didominasi etnis
Cina. Ditambah satu hal yang mengusik: kewaspadaan dan keraguan mengenai
kehalalan (boleh atau tidaknya menyantap) makanan yang dijual apabila
berkunjung dan melakukan etnografi di Pasar Lama.
Tapi
nyatanya, yang penulis saksikan di Pasar Lama adalah alkulturasi dan asimilasi.
Pedagang-pedagang berkerudung; yang membawa identitas Islam –berasal dari etnis
Jawa dan Sunda, ada juga pedagang etnis Tionghoa yang menjual peralatan
sembahyang atau bahan makanan (seperti biawak, katak, dan babi). Semua yang beraneka ragam itu berbaur, menghilangkan citra Pecinan di otak
penulis meski ada ciri-ciri khas pedagang Cina di Pasar tersebut.
Dari
beberapa sumber yang diwawancara (orang Islam yang tinggal di kawasan
Kalipasir) menyebut kalau mereka berbelanja di Pasar Lama, sudah tahu lapak
khusus yang menjual daging atau makanan yang boleh dikonsumsi orang Islam. Ditelaah
di lapangan, ada beberapa tempat yang memasang tanda seperti: daging babi di
area jualannya sehingga masyarakat yang berbelanja bisa mengetahui –dan untuk
muslim bisa mencari/membeli daging di tempat lain.
II. Kawasan
Kuliner Pasar Lama
Penulis
berfokus pada tema kuliner di Pasar Lama yang dimulai dengan memasuki gerbang
Kawasan Kuliner Pasar Lama. Melintasi gerbang tersebut, mata penulis menangkap
makanan-makanan seperti batagor, bubur ayam, asinan, cakwe, otak-otak, dan
beragam lainnya dijajakan. Para empunya dagangan pun bersemangat menawarkan,
beberapa menyapa dengan “Teteh” atau “Neng”. Penulis kemudian mampir ke gerobak
cakwe dan otak-otak yang saling bersebrangan, di sisi kanan jalan Kisamaun yang
terhubung langsung dengan pasar pagi Pasar Lama. Penulis yang berasal dari pulau seberang, kota Palembang baru
pertama kali mencicip Cakwe, impresi pertama terhadap Cakwe = enak. Mengenai
otak-otak, yang di Palembang cukup menjamur, penulis menemukan perbedaan dengan
versi Palembang terutama dari ukuran (di Pasar Lama ukurannya mini, di
Palembang cukup besar). Sempat juga berbincang dengan mas-mas yang menjual
otak-otak tersebut, dia mengatakan otak-otaknya terbuat dari ikan. Namun ia
enggan mengatakan ikan apa. Terkesan dari sikap dan cara menjawab kalau mas-mas
ini tipe introver, tidak terbuka untuk mengobrol apalagi ada beberapa ibu-ibu
yang mau membeli otak-otak.
III.
Laksa Sari
dan Logo Halal
Langkah kaki lalu bermuara di Laksa
Sari yang mengklaim makannnya halal dengan logo halal di spanduk toko ditambah
bebas MSG, Penulis pun masuk ke tempat tersebut guna mencicip laksa dan asinan.
Seorang ibu-ibu berambut keriting menyambut sembari mengabarkan kalau laksa
baru ada sekitar pukul 11 sehingga yang bisa dinikmati terlebih dahulu adalah
asinan Bogor. Makanan bernama Asinan ini tidak ada di Palembang sehingga penulis
tertarik mencobanya. Ketika dihidangkan ternyata asinan itu berisi kerupuk
kuning, kuah kacang, dan potongan sayur. Di benak penulis, asinan itu seperti
buah yang diasinkan. Setelah menghabiskan asinan, penulis duduk sembari
mengobservasi ruko yang disulap menjadi tempat makan minimalis tersebut. Ada
tiga ibu-ibu yang beraktivitas di Laksa Sari (bukan konsumen). Ibu berjilbab,
dengan ciri fisik khas Jawa sibuk mengolah bumbu asinan (kuah kacang), ibu yang
keriting sibuk dengan hal lain termasuk menyajikan makanan, dan satu lagi ibu
berwajah khas Tionghoa tengah melakukan pembukuan. Pukul 11 lewat, laksa
dihidangkan. Laksa yang berkuah kuning dengan potongan lontong, setengah telur
rebus, kacang, potongan wortel, bihun, bawang goreng, suiran ayam dan daun
kemangi pun dinikmati. Penulis membandingkan dengan pengalaman menyantap laksa
Tangerang di sekitar Bendungan 10 Tangerang serta laksa (lakso) Palembang.
Laksa Tangerang dan Jakarta (Laksa Sari) memiliki kemiripan karena rasa kuah
kari, lontong, serta telur. Yang berbeda, tidak ada bihun, daun kemangi,
potongan ayam (kecuali kalau memesan Laksa ayam bukan telur), dan emping di
laksa Tangerang. Sementara laksa Palembang yang mirip cuma warna kuah, sementara
isinya potongan pempek.
Pemilik
Laksa Sari (Nyonya Claudia Sari) mengaku sudah tiga tahun lebih berjualan
laksa. Setiap pagi ia menyuplai kuah ke tiga outlet yang berada di Tangerang
dan Summarecon. Berawal dari kesukaan pada laksa, Nyonya Claudia yang asli
Tangerang, tinggal di kawasan BSD, sebenarnya tidak bisa memasak, tapi ia
mencoba membuat laksa sendiri dan mendapatkan pujian teman-temannya lewat laksa
masakannya. Ia menyebutkan kalau laksanya berasal dari laksa Jakarta atau
Betawi yang dimodifikasi: cabenya banyak sehingga warna kuah lebih merah,
orang-orang juga berkata kalau laksanya lebih
gurih karena bumbunya banyak. Pak Bondan, seorang pakar kuliner yang
terkenal dengan jargon maknyus dan
malang-melintang di Televisi Indonesia pun pernah datang mencicip. Pada
kunjungan kedua, Pak Bondan bahkan mengajak empat chef Paramount (hotel Atria)
guna belajar membuat laksa, diliput juga oleh media seperti Trans TV dan Net
TV. Kunjungan media dan Pak Bondan diabadikan Nyonya Claudia dengan mencetak
foto-foto bersama orang-orang terkenal (Pak Bondan, Peppy ‘Trans 7’, dsb) dalam
selembar spanduk dan memajangnya di dinding resto.
Asal
mula pemilihan Pasar Lama sebagai tempat berjualan pun dijelaskan oleh Nyonya
Claudia sebagai berikut:
“Saya lihat di Tangerang banyak orang cari makanan
tradisional. Apalagi kayak di sini Pasar Lama, orang-orang dari Jakarta, dia
malah mencarinya yang tidak biasa-biasa gitu. Malah saya mau jualan toge goreng
kayanya toge goreng orang cari, jarang kan orang jualan apalagi kalau disediain
tempat… kebanyakan yang datang ke Pasar Lama itu turis (Jakarta, Bogor) yang
pengen kuliner, terkenal kulinernya (Pasar Lama).”
Dari
paparan Nyonya Claudia tersebut, ada unsur perhitungan letak strategis Pasar
Lama dengan kebutuhan konsumen pada kuliner terutama yang jarang ditemui
sehingga Nyonya Claudia memanfaatkan dua faktor tersebut untuk membuka rumah
makan mini di sebuah ruko, dengan
menawarkan makanan-makanan tradisional seperti laksa bihun, asinan, dan
sebagainya. Selain itu, Nyonya Claudia pun memanfaatkan teknologi untuk
memasarkan dagangannya seperti bekerja sama dengan Go-food (Go-jek) dan media
sosial seperti instagram.
Menjelang
pukul 1 siang, rombongan ibu-bapak paruh baya datang, semuanya beretnis
Tionghoa; langsung memenuhi Laksa Sari yang mini.
Penulis pun beranjak ke tujuan berikutnya yaitu Mesjid Kali Pasir dan Museum
Benteng Heritage. Mesjid Kali Pasir
menurut mantan ketua DKM[1]
ada sejak 1600-1700an. Arsitektur pagoda Tiongkok yang menjadi bagian mesjid
menjadi saksi akulturasi budaya di kawasan tersebut, antara Islam dan Tiongkok.
Saat melakukan tur di Museum Benteng Heritage pun diceritakan sejarah
berdirinya Benteng dan asal-usul ‘Cina Benteng’, kecap Tangerang, peninggalan
khas Cina, hingga kelenteng Boen Tek Bio.
IV.
Restoran
Veggie TeHe
Pukul
tiga sore, Penulis menuju sebuah restoran yang terletak di depan Pasar Lama,
selurus dengan jam besar bewarna hijau yang berdiri gagah. Dari namanya, Veggie
yang berarti Vegetarian, penulis penasaran karena resto tersebut adalah
satu-satunya yang menjajakan makanan vegetarian, terletak di muka Pasar Lama,
dan tampak lebih mewah dibanding
rumah makan di barisan jalan Kisamaun dan tempat makan di pinggiran pasar.
Resto ini juga pernah disinggahi orang-orang utama Indonesia seperti Gusdur dan
SBY.
Gambar
II. Veggie Bistro (Te He) di Pasar Lama
Resto
yang dimiliki oleh pak Suharjo yang asli Tangerang itu baru beroperasi di tahun
2015 (di Pasar Lama, sebelumnya sekitar 13 tahun di Jakarta), rumahnya pun di
dekat Pasar Lama (Modern Land). Dari salah satu staffnya yang asli Tangerang
juga -Mbak Wulan, didapatkan info kalau pak Suharjo yang membuat semua bumbu
beserta konsep dan penyajian. Restoran dengan nama Te He –Resto Vegetarian-
memiliki jargon healthy, veggie,
delicious (sehat, vegetarian, lezat), dalam bahasa Mandarin, Te He berarti
kedamaian[2].
Di sebuah pigura terpajang poster restoran, pada bagian bawah tulisan Te He ada
aksara Cina.
Di
resto ini, penulis mencoba pempek telur (di sini disebutnya kapal selam padahal
ukurannya kecil, jika di Palembang kapal selam itu pempek telur yang besar) dan
pempek adaan.
Jika
dibandingkan dengan daerah asal, penyajian pempek di sini berbeda. Veggie
bistro memotong-motong pempek dan meletakkan di satu piring bersama bihun dan
potongan ketimun, cuka hitam sebagai teman makan pempek disajikan dalam sebuah
botol. Sementara di asalnya, pempek dos (tanpa ikan) dihidangkan tanpa
embel-embel ketimun dan bihun. Ada mangkuk kecil untuk menuangkan cuka (mangkuk
diperlukan untuk ritual menghirup/meminum
cuka). Harga pempek dibandrol @7000. Untuk ukuran pempek DOS (tanpa ikan),
harganya berkali-kali lipat (jika yang termurah adalah 800 perak, maka harga di
sini 10x lipat) tapi karena penulis belum beruntung berbincang dengan Pak
Suharjo, penulis belum bisa menemukan mengapa pempek tanpa ikan itu dihargai
sekian.
Di
sisi lain, menu-menu yang ditawarkan di Veggie bistro ini cukup beragam- dari
beberapa bagian Indonesia- seperti masakan Indonesia: dari Bandung/Sunda (nasi
timbal), sate Padang, soto Betawi hingga sate Madura. Lalu dari citarasa luar
negeri: Hainam/Hainan (Tionghoa, Malaysia, Singapura), Bento (Jepang), Hot pot
Korea sampai spaghetti yang tentu saja semuanya versi vegetarian. Selama
penulis duduk di tempat ini, ada beberapa pelanggan paruh baya yang sepertinya
tidak ngeh kalau restoran ini menjual
makanan vegetarian, daging seperti ayam atau bebek yang ditawarkan palsu.
Sayangnya,
Pak Suharjo belum bisa datang sore hari itu karena masih sibuk menyiapkan bumbu
siomay. Penulis yang harus kembali ke Masjid Kalipasir untuk ibadah pun
mengundurkan diri.
V.
Sate Haji Ishak
Sore
menjelang maghrib, suasana jalan Kisamaun dipadati oleh pedagang kuliner.
Penulis memutuskan untuk singgah ke gerobak Sate Haji Ishak. Pertama karena
judul ‘Sate Haji’ yang menandakan kalau si empunya beragama Islam dan sudah
naik haji. Kedua, ranah paling ramai pengunjung adalah tempat sate tersebut.
Ada sekitar empat pria yang bekerja di sate Haji itu. Salah satunya berkumis
dan berwajah seperti orang Madura. Di belakang gerobak, mengantri orang-orang
mulai dari yang mukanya Jawa banget, berjilbab, hingga etnis Tionghoa; dari
anak kecil hingga orang tua. Penulis harus menunggu sekitar lima belas menit
sebelum bisa menyantap sate madura. Dari perbincangan sekilas dengan perempuan
muda berjilbab yang membawa anak, duduk bersisian sembari makan sate, didapatkan
kalau perempuan tersebut sering membeli sate ini, dia berkata kalau sate
tersebut halal.
VI.
Gerobak
Pempek Panggang
Menutup
perjalanan di hari pertama (15 April 2017), penulis lagi-lagi penasaran dengan
masakan khas Palembang yang ada ditemukan. Kali ini, yang ditawarkan beda dari
yang biasa (pempek), yaitu: pempek panggang, lenggang, dan otak-otak. Yang
menyambut penulis adalah seorang pemuda, mungkin sekitar dua puluh tahunan.
Pemuda tersebut mengaku baru dua-tiga bulan membuka lapak di Pasar Lama (malam
hari saja) karena Pasar Lama dinilai strategis, punya banyak pengunjung, dan
tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya (dua kali naik angkot). Pemuda
berkaos itu pun bercerita kalau dirinya bukan orang Palembang, tetapi memiliki
saudara orang Palembang dan pernah beberapa kali bertandang ke kota bekas
kerajaan Sriwijaya tersebut. Dia memilih berjualan makanan khas Palembang
karena diajari saudaranya, apalagi makanan yang dipilihnya jarang ditemukan. Penulis sendiri cuma menemukan pempek panggang dan lenggang di gerobak pemuda itu.
Kalau pempek, ada di beberapa titik Pasar Lama (seperti di Veggie Bistro, di
pinggir kanan Kisamaun juga ada (malam hari)).
Penulis
memesan pempek panggang yang dibrandol @2.500. Dari namanya, sudah bisa ditebak
kalau cara memasak pempek tersebut adalah dengan memanggang. Di atas
panggangan, beberapa pempek dijajarkan bersama dengan lenggang (pempek+telur
yang dipanggang di atas daun yang dibentuk ‘wadah’ segi empat).
Sayang,
beberapa menit berlalu, yang muncul sebagai pembeli hanya penulis.
VII.
Pempek Enny
Keesokan
pagi, pukul 10, penulis menyusuri jalan Kisamaun, lebih jauh daripada yang
pernah ditelusuri. Sepanjang perjalanan lurus tersebut, mobil-mobil terparkir,
becak-becak pun menanti penumpang di sisi kanan Kisamaun, sementara di tengah
jalan lenggang, hanya sesekali mobil atau motor lewat. Aktivitas para penjual
makanan sudah ramai: soto Betawi, nasi bakar, mie, batagor, ketupat sayur,
gemblong, siomay, serabi, bubur, gudeg,
makanan khas Lombok (ayam Taliwang), roti Boy, dan sebagainya. Sembari merekam,
penulis mendapati tiga toko buah segar di sisi kanan jalan Kisamaun. Satu di
antaranya menempelkan aksara Cina di pintu masuk kaca. Tidak hanya kuliner saja
yang berada di jalan tersebut, ada toko komputer, toko elektronik, toko alat tulis, toko kue, toko obat (dengan
nama khas Cina), toko pakaian (ada Mumbay), kafe, kantor notaris, percetakan,
hingga rumah kosong yang berhias grafiti.
Di
suatu titik, penulis memilih warung Bu Enny yang menjajakan beragam jenis pempek
bahkan lenggang. Penulis merupakan pelanggan pertama yang datang (sekitar pukul
10 lewat) dan disambut seorang perempuan muda. Di belakang, tampak seorang
perempuan muda lainnya –berkerudung- menggoreng sesuatu. Perempuan muda yang
mengenalkan diri sebagai staff memberi daftar menu dengan mengingatkan beberapa
makanan atau minuman tidak tersedia. Di sela-sela memilih menu, penulis
bertanya apakah orang yang punya rumah makan tersebut adalah orang Palembang,
dia menjawab bukan. Semua bahan pempek disuplai, si perempuan muda tinggal
mengolah –menggoreng dan menjual.
Persamaan
yang penulis dapat setelah mencicip pempek di Veggie Te He dan Bu Enny adalah
penyajian pempek yang mirip, di piring lebar dengan mi (kalau di Te He bihun,
di Bu Enny mi kuning) + ketimun. Yang membedakan lagi, cuka hitam langsung
dituang di piring, tidak di dalam botol. Lagi-lagi penulis kehilangan momen untuk meminum cuka sementara teman yang
sama-sama menikmati pempek tampak menikmati sajian, termasuk ketimun dan mi
kuningnya. Penulis hanya memakan pempek yang ditenggelamkan secara semena-mena
(dilakukan oleh staff Bu Enny), di tempat asal penulis, pempek tidak
ditenggelamkan oleh orang lain (staff atau yang menyajikan). Harga yang
dibandrol @6000. Dua-tiga kali lipat dari harga normal di kota kelahiran penulis.
VIII. Kemplang Bangka – Jajanan Pasar Pagi
Lepas
dari Bu Enny, penulis berjalan menyusuri Pasar Lama. Suara musik instrumental
bernuansa Cina terdengar, entah berasal dari lapak yang mana. Keramaian masih
berlangsung di pasar pagi meski jam menunjukkan pukul sebelas siang. Ibu-ibu
berkulit putih dengan mata kecil berlalu-lalang, bapak-bapak yang menunggu
pelanggan di kios masing-masing pun tampak, ada yang diam saja, ada yang tengah
mengobrol. Hal-hal yang dijual pun beraneka ragam, mulai dari makanan
tradisional, daging, ikan, sayur-mayur, perlengkapan sembahyang, buah, tanaman
+ pot, hingga baju. Yang berjualan pun beragam, mulai dari keturunan Cina,
bapak-bapak berkopiah, sampai ibu-ibu berkerudung. Penjual beraneka, pembeli
pun begitu juga. Sampai di depan Pasar Lama, di samping tanda jalan ‘Museum
Benteng Heritage’ penulis menemukan kemplang Bangka, satu-satunya lapak yang
menjual snack dari Sumatera.
Pertanyaan
yang menggelitik penulis adalah mengapa kemplang Bangka ada di sini? Bahkan ada
satu rak khusus yang terpisah dari sebuah lapak kemplang. Ketika penulis
mewawancarai ibu-ibu pemilik lapak yang berjilbab, dia mengaku asli Jawa,
tinggal di Jakarta Barat, dan menjual kemplang asli Bangka, bahkan mengklaim
kemplang itu berbahan dasar ikan tenggiri. Harga yang dibrandol untuk sebungkus
kemplang berisi empat biji adalah 5.000 rupiah sementara yang lumayan besar
Rp.15.000. Sebagai orang yang cukup familier
dengan kemplang (karena Palembang juga memproduksi), penulis menebak kalau
ikan tenggiri yang digunakan dalam kemplang tersebut sedikit. Harga segitu –yang bisa dikategorikan murah-
dan warna yang cerah menandakan
ikannya sedikit. Semakin kuning atau
keruh kemplang, maka kandungan ikannya banyak, dan harganya bakal jauh lebih
tinggi. Penulis memutuskan mencoba, membeli yang empat biji dengan harga 5000
rupiah. Setelah disantap, kemplangnya enak, dengan asumsi tepat kalau takaran
ikannya sedikit.
Di
seberang lapak kemplang, terdapat lapak jajanan pasar. Melihat beberapa ibu-ibu
berkerudung di sana, penulis pun menghampiri dan melihat-lihat jajanan. Beberapa
makanan familier seperti risol dan
lemper menyambut. Lapak jajanan ini sempat direkomendasikan oleh beberapa orang
yang penulis jumpai di Kalipasir serta dari ibu yang menjual kemplang, kalau
mencari jajanan yang dijamin kehalalalannya, maka belilah di lapak ini. Jika
dari depan Pasar Lama, lapak jajanan ini ada di sisi kanan. Langsung terlihat
karena letaknya yang di depan.
IX.
Analisis
Ada
beberapa pola yang penulis tangkap dan jadikan acuan ketika menjelajahi kuliner
di Pasar Lama. Dengan filter keyakinan;
memilih makanan, minuman, atau bahan masakan yang halal –diperbolehkan sesuai
keyakinan, maka pertimbangan dan petunjuk yang bisa diacu antara lain:
1.
Logo Halal
Stiker
halal yang dicantumkan dalam spanduk, poster, atau papan nama di gerobak atau
restoran sangat membantu dalam menentukan tempat yang bisa disinggahi untuk
makan/minum.
2.
Identitas keyakinan pada penjual
Umumnya,
ketika melihat penjual dengan atribut keyakinan yang sama atau embel-embel
keagamaan, penulis atau orang awam yang baru pertama ke area Pecinan akan
menangkap kalau yang dijual oleh penjual tersebut halal.
3.
Rekomendasi
Hal
paling gampang adalah meminta rekomendasi dari penduduk yang berkeyakinan sama
karena mereka sudah punya pengetahuan dan pengalaman tentang kehalalan.
Selain
isu halal di Pecinan Pasar Lama. Penulis juga menemukan hibriditas, baik antar
lokal (seperti laksa Betawi yang rasanya beda di Pasar Lama, dimasak oleh
keturunan Tionghoa hingga pempek yang penyajiannya berbeda) hingga antar negara
(seperti menu-menu di resto Te He). Terutama di malam hari, pilihan makanan
sangat bervariasi dibanding pagi hari. Pasar Lama kala malam menghadirkan
kuliner khas Timur Tengah, Jepang (sushi), Padang, Lombok, Bandung, dsb. Meski
begitu, Pasar Pagi tetap sibuk dan ramai dikunjungi.
X.
Penutup
Dengan
keterbatasan penjelajahan kuliner di Pasar Lama, penulis berharap keharmonisan
yang tergambar di Pasar Lama dan sekitarnya antar etnis dan agama dapat
berlangsung terus. Pasar Lama yang menyediakan makanan halal, yang dikelola baik
oleh orang Islam atau bukan, telah menandakan sebuah proses perbauran, tidak
lagi mengekslusifkan Pecinan khusus orang keturunan Cina tetapi untuk siapa pun
yang berada di kawasan Pasar Lama meski mungkin faktor utama dicurigai adalah kapitalisme, menjaring
konsumen lebih banyak apalagi di kawasan multietnis dan multikultural. Di sisi
lain, mungkin identitas Pecinan memudar, tapi identitas kawasan multietnis
muncul.
Daftar Pustaka
Boedi, O.B. (2016).
Pengaruh Interaksi Sosial Terhadap Gaya
Bangunan Rumah di Pasarlama, Kota Tangerang. Balai Arkeologi Bandung:
Bandung. Sumber: purbawidya.kemdikbud.go.id/index.php/jurnal/article/view/74/62 (diakses
17 April 2017).
Komentar
Posting Komentar