Kuliner di Pasar Lama



Penulis melakukan perjalanan ke Pasar Lama Tangerang pada akhir pekan, 15-16 April 2017 untuk etnografi dengan fokus tema kuliner Pasar Lama, terkait hibriditas pada makanan dan logo halal. Penjelajahan dimulai pukul 10 pagi, menyusuri jalan Kisamaun yang berada di samping Stasiun Tangerang, dengan gerbang Kawasan Kuliner Pasar Lama sebagai penanda kalau jalan tersebut pusatnya kuliner di Pasar Lama dan berakhir sekitar pukul 7 malam di hari pertama dan jam 10-12 siang di hari kedua.

I.                Pasar Lama
Pasar Lama adalah sebuah kawasan pasar yang terletak di kota Tangerang, di barat sungai Cisadane. Boedi (2016) menyebut Pasar Lama sebagai satu kampung di Tangerang sekaligus pecinan yang tua dengan ciri vihara Boen Tek Bio (1684). Kawasan ini dibatasi ruas jalan dan sungai Cisadane sebelah timur, Kampung Kali Pasir di selatan, kompleks Pendopo Kabupaten Tangerang di sisi barat, serta ruas jalan Kisamaun dan Pasar Baru di sebelah utara.
Wilayah ini terdiri dari beragam latar budaya masyarakat seperti Sunda dan Cina, menyebabkan keragaman dari segi keyakinan (Buddha, Konghucu, Islam, dan Kristen); ditandai juga dengan adanya vihara, mesjid dan gereja di sekitar/di dalam area Pasar Lama.
Kata Pecinan yang identik dengan keturunan Cina melekat sebagai identitas Pasar Lama. Sebagai orang awam yang tidak pernah ke Tangerang apalagi Pasar Lama, citra Pasar Lama yang muncul pun adalah sebuah kawasan pasar yang didominasi etnis Cina. Ditambah satu hal yang mengusik: kewaspadaan dan keraguan mengenai kehalalan (boleh atau tidaknya menyantap) makanan yang dijual apabila berkunjung dan melakukan etnografi di Pasar Lama.
Tapi nyatanya, yang penulis saksikan di Pasar Lama adalah alkulturasi dan asimilasi. Pedagang-pedagang berkerudung; yang membawa identitas Islam –berasal dari etnis Jawa dan Sunda, ada juga pedagang etnis Tionghoa yang menjual peralatan sembahyang atau bahan makanan (seperti biawak, katak, dan babi). Semua yang beraneka ragam itu berbaur, menghilangkan citra Pecinan di otak penulis meski ada ciri-ciri khas pedagang Cina di Pasar tersebut.
Dari beberapa sumber yang diwawancara (orang Islam yang tinggal di kawasan Kalipasir) menyebut kalau mereka berbelanja di Pasar Lama, sudah tahu lapak khusus yang menjual daging atau makanan yang boleh dikonsumsi orang Islam. Ditelaah di lapangan, ada beberapa tempat yang memasang tanda seperti: daging babi di area jualannya sehingga masyarakat yang berbelanja bisa mengetahui –dan untuk muslim bisa mencari/membeli daging di tempat lain. 
  
II.             Kawasan Kuliner Pasar Lama
Penulis berfokus pada tema kuliner di Pasar Lama yang dimulai dengan memasuki gerbang Kawasan Kuliner Pasar Lama. Melintasi gerbang tersebut, mata penulis menangkap makanan-makanan seperti batagor, bubur ayam, asinan, cakwe, otak-otak, dan beragam lainnya dijajakan. Para empunya dagangan pun bersemangat menawarkan, beberapa menyapa dengan “Teteh” atau “Neng”. Penulis kemudian mampir ke gerobak cakwe dan otak-otak yang saling bersebrangan, di sisi kanan jalan Kisamaun yang terhubung langsung dengan pasar pagi Pasar Lama. Penulis yang berasal dari pulau seberang, kota Palembang baru pertama kali mencicip Cakwe, impresi pertama terhadap Cakwe = enak. Mengenai otak-otak, yang di Palembang cukup menjamur, penulis menemukan perbedaan dengan versi Palembang terutama dari ukuran (di Pasar Lama ukurannya mini, di Palembang cukup besar). Sempat juga berbincang dengan mas-mas yang menjual otak-otak tersebut, dia mengatakan otak-otaknya terbuat dari ikan. Namun ia enggan mengatakan ikan apa. Terkesan dari sikap dan cara menjawab kalau mas-mas ini tipe introver, tidak terbuka untuk mengobrol apalagi ada beberapa ibu-ibu yang mau membeli otak-otak.

III.             Laksa Sari dan Logo Halal
           Langkah kaki lalu bermuara di Laksa Sari yang mengklaim makannnya halal dengan logo halal di spanduk toko ditambah bebas MSG, Penulis pun masuk ke tempat tersebut guna mencicip laksa dan asinan. Seorang ibu-ibu berambut keriting menyambut sembari mengabarkan kalau laksa baru ada sekitar pukul 11 sehingga yang bisa dinikmati terlebih dahulu adalah asinan Bogor. Makanan bernama Asinan ini tidak ada di Palembang sehingga penulis tertarik mencobanya. Ketika dihidangkan ternyata asinan itu berisi kerupuk kuning, kuah kacang, dan potongan sayur. Di benak penulis, asinan itu seperti buah yang diasinkan. Setelah menghabiskan asinan, penulis duduk sembari mengobservasi ruko yang disulap menjadi tempat makan minimalis tersebut. Ada tiga ibu-ibu yang beraktivitas di Laksa Sari (bukan konsumen). Ibu berjilbab, dengan ciri fisik khas Jawa sibuk mengolah bumbu asinan (kuah kacang), ibu yang keriting sibuk dengan hal lain termasuk menyajikan makanan, dan satu lagi ibu berwajah khas Tionghoa tengah melakukan pembukuan. Pukul 11 lewat, laksa dihidangkan. Laksa yang berkuah kuning dengan potongan lontong, setengah telur rebus, kacang, potongan wortel, bihun, bawang goreng, suiran ayam dan daun kemangi pun dinikmati. Penulis membandingkan dengan pengalaman menyantap laksa Tangerang di sekitar Bendungan 10 Tangerang serta laksa (lakso) Palembang. Laksa Tangerang dan Jakarta (Laksa Sari) memiliki kemiripan karena rasa kuah kari, lontong, serta telur. Yang berbeda, tidak ada bihun, daun kemangi, potongan ayam (kecuali kalau memesan Laksa ayam bukan telur), dan emping di laksa Tangerang. Sementara laksa Palembang yang mirip cuma warna kuah, sementara isinya potongan pempek.



                                       Gambar I.A-I.B. Laksa Sari dan Spanduk Laksa Sari

Pemilik Laksa Sari (Nyonya Claudia Sari) mengaku sudah tiga tahun lebih berjualan laksa. Setiap pagi ia menyuplai kuah ke tiga outlet yang berada di Tangerang dan Summarecon. Berawal dari kesukaan pada laksa, Nyonya Claudia yang asli Tangerang, tinggal di kawasan BSD, sebenarnya tidak bisa memasak, tapi ia mencoba membuat laksa sendiri dan mendapatkan pujian teman-temannya lewat laksa masakannya. Ia menyebutkan kalau laksanya berasal dari laksa Jakarta atau Betawi yang dimodifikasi: cabenya banyak sehingga warna kuah lebih merah, orang-orang juga berkata kalau laksanya lebih gurih karena bumbunya banyak. Pak Bondan, seorang pakar kuliner yang terkenal dengan jargon maknyus dan malang-melintang di Televisi Indonesia pun pernah datang mencicip. Pada kunjungan kedua, Pak Bondan bahkan mengajak empat chef Paramount (hotel Atria) guna belajar membuat laksa, diliput juga oleh media seperti Trans TV dan Net TV. Kunjungan media dan Pak Bondan diabadikan Nyonya Claudia dengan mencetak foto-foto bersama orang-orang terkenal (Pak Bondan, Peppy ‘Trans 7’, dsb) dalam selembar spanduk dan memajangnya di dinding resto.
Asal mula pemilihan Pasar Lama sebagai tempat berjualan pun dijelaskan oleh Nyonya Claudia sebagai berikut:

“Saya lihat di Tangerang banyak orang cari makanan tradisional. Apalagi kayak di sini Pasar Lama, orang-orang dari Jakarta, dia malah mencarinya yang tidak biasa-biasa gitu. Malah saya mau jualan toge goreng kayanya toge goreng orang cari, jarang kan orang jualan apalagi kalau disediain tempat… kebanyakan yang datang ke Pasar Lama itu turis (Jakarta, Bogor) yang pengen kuliner, terkenal kulinernya (Pasar Lama).”

Dari paparan Nyonya Claudia tersebut, ada unsur perhitungan letak strategis Pasar Lama dengan kebutuhan konsumen pada kuliner terutama yang jarang ditemui sehingga Nyonya Claudia memanfaatkan dua faktor tersebut untuk membuka rumah makan mini di sebuah ruko, dengan menawarkan makanan-makanan tradisional seperti laksa bihun, asinan, dan sebagainya. Selain itu, Nyonya Claudia pun memanfaatkan teknologi untuk memasarkan dagangannya seperti bekerja sama dengan Go-food (Go-jek) dan media sosial seperti instagram.
Menjelang pukul 1 siang, rombongan ibu-bapak paruh baya datang, semuanya beretnis Tionghoa; langsung memenuhi Laksa Sari yang mini. Penulis pun beranjak ke tujuan berikutnya yaitu Mesjid Kali Pasir dan Museum Benteng Heritage.  Mesjid Kali Pasir menurut mantan ketua DKM[1] ada sejak 1600-1700an. Arsitektur pagoda Tiongkok yang menjadi bagian mesjid menjadi saksi akulturasi budaya di kawasan tersebut, antara Islam dan Tiongkok. Saat melakukan tur di Museum Benteng Heritage pun diceritakan sejarah berdirinya Benteng dan asal-usul ‘Cina Benteng’, kecap Tangerang, peninggalan khas Cina, hingga kelenteng Boen Tek Bio.

IV.             Restoran Veggie TeHe 
Pukul tiga sore, Penulis menuju sebuah restoran yang terletak di depan Pasar Lama, selurus dengan jam besar bewarna hijau yang berdiri gagah. Dari namanya, Veggie yang berarti Vegetarian, penulis penasaran karena resto tersebut adalah satu-satunya yang menjajakan makanan vegetarian, terletak di muka Pasar Lama, dan tampak lebih mewah dibanding rumah makan di barisan jalan Kisamaun dan tempat makan di pinggiran pasar. Resto ini juga pernah disinggahi orang-orang utama Indonesia seperti Gusdur dan SBY.


Gambar II. Veggie Bistro (Te He) di Pasar Lama
Resto yang dimiliki oleh pak Suharjo yang asli Tangerang itu baru beroperasi di tahun 2015 (di Pasar Lama, sebelumnya sekitar 13 tahun di Jakarta), rumahnya pun di dekat Pasar Lama (Modern Land). Dari salah satu staffnya yang asli Tangerang juga -Mbak Wulan, didapatkan info kalau pak Suharjo yang membuat semua bumbu beserta konsep dan penyajian. Restoran dengan nama Te He –Resto Vegetarian- memiliki jargon healthy, veggie, delicious (sehat, vegetarian, lezat), dalam bahasa Mandarin, Te He berarti kedamaian[2]. Di sebuah pigura terpajang poster restoran, pada bagian bawah tulisan Te He ada aksara Cina.
 Di resto ini, penulis mencoba pempek telur (di sini disebutnya kapal selam padahal ukurannya kecil, jika di Palembang kapal selam itu pempek telur yang besar) dan pempek adaan. 
Jika dibandingkan dengan daerah asal, penyajian pempek di sini berbeda. Veggie bistro memotong-motong pempek dan meletakkan di satu piring bersama bihun dan potongan ketimun, cuka hitam sebagai teman makan pempek disajikan dalam sebuah botol. Sementara di asalnya, pempek dos (tanpa ikan) dihidangkan tanpa embel-embel ketimun dan bihun. Ada mangkuk kecil untuk menuangkan cuka (mangkuk diperlukan untuk ritual menghirup/meminum cuka). Harga pempek dibandrol @7000. Untuk ukuran pempek DOS (tanpa ikan), harganya berkali-kali lipat (jika yang termurah adalah 800 perak, maka harga di sini 10x lipat) tapi karena penulis belum beruntung berbincang dengan Pak Suharjo, penulis belum bisa menemukan mengapa pempek tanpa ikan itu dihargai sekian.
Di sisi lain, menu-menu yang ditawarkan di Veggie bistro ini cukup beragam- dari beberapa bagian Indonesia- seperti masakan Indonesia: dari Bandung/Sunda (nasi timbal), sate Padang, soto Betawi hingga sate Madura. Lalu dari citarasa luar negeri: Hainam/Hainan (Tionghoa, Malaysia, Singapura), Bento (Jepang), Hot pot Korea sampai spaghetti yang tentu saja semuanya versi vegetarian. Selama penulis duduk di tempat ini, ada beberapa pelanggan paruh baya yang sepertinya tidak ngeh kalau restoran ini menjual makanan vegetarian, daging seperti ayam atau bebek yang ditawarkan palsu.  
Sayangnya, Pak Suharjo belum bisa datang sore hari itu karena masih sibuk menyiapkan bumbu siomay. Penulis yang harus kembali ke Masjid Kalipasir untuk ibadah pun mengundurkan diri.

V.                Sate Haji Ishak
Sore menjelang maghrib, suasana jalan Kisamaun dipadati oleh pedagang kuliner. Penulis memutuskan untuk singgah ke gerobak Sate Haji Ishak. Pertama karena judul ‘Sate Haji’ yang menandakan kalau si empunya beragama Islam dan sudah naik haji. Kedua, ranah paling ramai pengunjung adalah tempat sate tersebut. Ada sekitar empat pria yang bekerja di sate Haji itu. Salah satunya berkumis dan berwajah seperti orang Madura. Di belakang gerobak, mengantri orang-orang mulai dari yang mukanya Jawa banget, berjilbab, hingga etnis Tionghoa; dari anak kecil hingga orang tua. Penulis harus menunggu sekitar lima belas menit sebelum bisa menyantap sate madura. Dari perbincangan sekilas dengan perempuan muda berjilbab yang membawa anak, duduk bersisian sembari makan sate, didapatkan kalau perempuan tersebut sering membeli sate ini, dia berkata kalau sate tersebut halal. 

VI.             Gerobak Pempek Panggang
Menutup perjalanan di hari pertama (15 April 2017), penulis lagi-lagi penasaran dengan masakan khas Palembang yang ada ditemukan. Kali ini, yang ditawarkan beda dari yang biasa (pempek), yaitu: pempek panggang, lenggang, dan otak-otak. Yang menyambut penulis adalah seorang pemuda, mungkin sekitar dua puluh tahunan. Pemuda tersebut mengaku baru dua-tiga bulan membuka lapak di Pasar Lama (malam hari saja) karena Pasar Lama dinilai strategis, punya banyak pengunjung, dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya (dua kali naik angkot). Pemuda berkaos itu pun bercerita kalau dirinya bukan orang Palembang, tetapi memiliki saudara orang Palembang dan pernah beberapa kali bertandang ke kota bekas kerajaan Sriwijaya tersebut. Dia memilih berjualan makanan khas Palembang karena diajari saudaranya, apalagi makanan yang dipilihnya jarang ditemukan. Penulis sendiri cuma menemukan pempek panggang dan lenggang di gerobak pemuda itu. Kalau pempek, ada di beberapa titik Pasar Lama (seperti di Veggie Bistro, di pinggir kanan Kisamaun juga ada (malam hari)).
Penulis memesan pempek panggang yang dibrandol @2.500. Dari namanya, sudah bisa ditebak kalau cara memasak pempek tersebut adalah dengan memanggang. Di atas panggangan, beberapa pempek dijajarkan bersama dengan lenggang (pempek+telur yang dipanggang di atas daun yang dibentuk ‘wadah’ segi empat).
Sayang, beberapa menit berlalu, yang muncul sebagai pembeli hanya penulis.   

VII.          Pempek Enny
Keesokan pagi, pukul 10, penulis menyusuri jalan Kisamaun, lebih jauh daripada yang pernah ditelusuri. Sepanjang perjalanan lurus tersebut, mobil-mobil terparkir, becak-becak pun menanti penumpang di sisi kanan Kisamaun, sementara di tengah jalan lenggang, hanya sesekali mobil atau motor lewat. Aktivitas para penjual makanan sudah ramai: soto Betawi, nasi bakar, mie, batagor, ketupat sayur, gemblong, siomay, serabi,  bubur, gudeg, makanan khas Lombok (ayam Taliwang), roti Boy, dan sebagainya. Sembari merekam, penulis mendapati tiga toko buah segar di sisi kanan jalan Kisamaun. Satu di antaranya menempelkan aksara Cina di pintu masuk kaca. Tidak hanya kuliner saja yang berada di jalan tersebut, ada toko komputer, toko elektronik,  toko alat tulis, toko kue, toko obat (dengan nama khas Cina), toko pakaian (ada Mumbay), kafe, kantor notaris, percetakan, hingga rumah kosong yang berhias grafiti.
         Di suatu titik, penulis memilih warung Bu Enny yang menjajakan beragam jenis pempek bahkan lenggang. Penulis merupakan pelanggan pertama yang datang (sekitar pukul 10 lewat) dan disambut seorang perempuan muda. Di belakang, tampak seorang perempuan muda lainnya –berkerudung- menggoreng sesuatu. Perempuan muda yang mengenalkan diri sebagai staff memberi daftar menu dengan mengingatkan beberapa makanan atau minuman tidak tersedia. Di sela-sela memilih menu, penulis bertanya apakah orang yang punya rumah makan tersebut adalah orang Palembang, dia menjawab bukan. Semua bahan pempek disuplai, si perempuan muda tinggal mengolah –menggoreng dan menjual.

                                                         Gambar III. Pempek Bu Enny
  
Persamaan yang penulis dapat setelah mencicip pempek di Veggie Te He dan Bu Enny adalah penyajian pempek yang mirip, di piring lebar dengan mi (kalau di Te He bihun, di Bu Enny mi kuning) + ketimun. Yang membedakan lagi, cuka hitam langsung dituang di piring, tidak di dalam botol. Lagi-lagi penulis kehilangan momen untuk meminum cuka sementara teman yang sama-sama menikmati pempek tampak menikmati sajian, termasuk ketimun dan mi kuningnya. Penulis hanya memakan pempek yang ditenggelamkan secara semena-mena (dilakukan oleh staff Bu Enny), di tempat asal penulis, pempek tidak ditenggelamkan oleh orang lain (staff atau yang menyajikan). Harga yang dibandrol @6000. Dua-tiga kali lipat dari harga normal di kota kelahiran penulis.

VIII.       Kemplang Bangka – Jajanan Pasar Pagi
Lepas dari Bu Enny, penulis berjalan menyusuri Pasar Lama. Suara musik instrumental bernuansa Cina terdengar, entah berasal dari lapak yang mana. Keramaian masih berlangsung di pasar pagi meski jam menunjukkan pukul sebelas siang. Ibu-ibu berkulit putih dengan mata kecil berlalu-lalang, bapak-bapak yang menunggu pelanggan di kios masing-masing pun tampak, ada yang diam saja, ada yang tengah mengobrol. Hal-hal yang dijual pun beraneka ragam, mulai dari makanan tradisional, daging, ikan, sayur-mayur, perlengkapan sembahyang, buah, tanaman + pot, hingga baju. Yang berjualan pun beragam, mulai dari keturunan Cina, bapak-bapak berkopiah, sampai ibu-ibu berkerudung. Penjual beraneka, pembeli pun begitu juga. Sampai di depan Pasar Lama, di samping tanda jalan ‘Museum Benteng Heritage’ penulis menemukan kemplang Bangka, satu-satunya lapak yang menjual snack dari Sumatera.
Pertanyaan yang menggelitik penulis adalah mengapa kemplang Bangka ada di sini? Bahkan ada satu rak khusus yang terpisah dari sebuah lapak kemplang. Ketika penulis mewawancarai ibu-ibu pemilik lapak yang berjilbab, dia mengaku asli Jawa, tinggal di Jakarta Barat, dan menjual kemplang asli Bangka, bahkan mengklaim kemplang itu berbahan dasar ikan tenggiri. Harga yang dibrandol untuk sebungkus kemplang berisi empat biji adalah 5.000 rupiah sementara yang lumayan besar Rp.15.000. Sebagai orang yang cukup familier dengan kemplang (karena Palembang juga memproduksi), penulis menebak kalau ikan tenggiri yang digunakan dalam kemplang tersebut sedikit. Harga segitu –yang bisa dikategorikan murah- dan warna yang cerah menandakan ikannya sedikit. Semakin kuning atau keruh kemplang, maka kandungan ikannya banyak, dan harganya bakal jauh lebih tinggi. Penulis memutuskan mencoba, membeli yang empat biji dengan harga 5000 rupiah. Setelah disantap, kemplangnya enak, dengan asumsi tepat kalau takaran ikannya sedikit.
Di seberang lapak kemplang, terdapat lapak jajanan pasar. Melihat beberapa ibu-ibu berkerudung di sana, penulis pun menghampiri dan melihat-lihat jajanan. Beberapa makanan familier seperti risol dan lemper menyambut. Lapak jajanan ini sempat direkomendasikan oleh beberapa orang yang penulis jumpai di Kalipasir serta dari ibu yang menjual kemplang, kalau mencari jajanan yang dijamin kehalalalannya, maka belilah di lapak ini. Jika dari depan Pasar Lama, lapak jajanan ini ada di sisi kanan. Langsung terlihat karena letaknya yang di depan.  

IX.             Analisis 
Ada beberapa pola yang penulis tangkap dan jadikan acuan ketika menjelajahi kuliner di Pasar Lama. Dengan filter keyakinan; memilih makanan, minuman, atau bahan masakan yang halal –diperbolehkan sesuai keyakinan, maka pertimbangan dan petunjuk yang bisa diacu antara lain:
1.      Logo Halal
Stiker halal yang dicantumkan dalam spanduk, poster, atau papan nama di gerobak atau restoran sangat membantu dalam menentukan tempat yang bisa disinggahi untuk makan/minum.
2.      Identitas keyakinan pada penjual
Umumnya, ketika melihat penjual dengan atribut keyakinan yang sama atau embel-embel keagamaan, penulis atau orang awam yang baru pertama ke area Pecinan akan menangkap kalau yang dijual oleh penjual tersebut halal.
3.      Rekomendasi 
Hal paling gampang adalah meminta rekomendasi dari penduduk yang berkeyakinan sama karena mereka sudah punya pengetahuan dan pengalaman tentang kehalalan.

Selain isu halal di Pecinan Pasar Lama. Penulis juga menemukan hibriditas, baik antar lokal (seperti laksa Betawi yang rasanya beda di Pasar Lama, dimasak oleh keturunan Tionghoa hingga pempek yang penyajiannya berbeda) hingga antar negara (seperti menu-menu di resto Te He). Terutama di malam hari, pilihan makanan sangat bervariasi dibanding pagi hari. Pasar Lama kala malam menghadirkan kuliner khas Timur Tengah, Jepang (sushi), Padang, Lombok, Bandung, dsb. Meski begitu, Pasar Pagi tetap sibuk dan ramai dikunjungi.
 
X.                Penutup
Dengan keterbatasan penjelajahan kuliner di Pasar Lama, penulis berharap keharmonisan yang tergambar di Pasar Lama dan sekitarnya antar etnis dan agama dapat berlangsung terus. Pasar Lama yang menyediakan makanan halal, yang dikelola baik oleh orang Islam atau bukan, telah menandakan sebuah proses perbauran, tidak lagi mengekslusifkan Pecinan khusus orang keturunan Cina tetapi untuk siapa pun yang berada di kawasan Pasar Lama meski mungkin faktor utama dicurigai adalah kapitalisme, menjaring konsumen lebih banyak apalagi di kawasan multietnis dan multikultural. Di sisi lain, mungkin identitas Pecinan memudar, tapi identitas kawasan multietnis muncul.

Daftar Pustaka
Boedi, O.B. (2016). Pengaruh Interaksi Sosial Terhadap Gaya Bangunan Rumah di Pasarlama, Kota Tangerang. Balai Arkeologi Bandung: Bandung. Sumber:  purbawidya.kemdikbud.go.id/index.php/jurnal/article/view/74/62 (diakses 17 April 2017).


[1] Dewan Kehormatan Mesjid
[2] Dikutip dari artikel koran yang dipajang di restoran Te He.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru