1/4 abad-nya Perempuan dan Pertanyaan Klise


Usia +/- 25 tahun biasanya membuat seorang perempuan single mendapat pertanyaan dari orang, "Kapan menikah?" atau "Sudah punya calon?"


Adakah hubungan antara angka usia dan keharusan menikah? Apakah angka-usia dan pernikahan adalah konstruksi yang terbentuk di masyarakat? Toh, dulu orang menikah di usia 12 tahun ke atas dianggap normal tetapi di masa ini, umur 12 tahun menikah dilaporkan ke KPAI. Jadi, siapa yang menentukan usia dan pernikahan terlilit? 

Berdasarkan pengalaman lingkungan, di antara teman-teman yang berusia 24 tahun ke atas, saya menemukan kalau tidak ada perempuan yang tidak mau menikah. Tidak juga menunda apabila orang yang disukai datang melamar. Jadi, pada dasarnya syarat yang kudu ada dalam merencanakan pernikahan adalah calon mempelai laki-laki, orang yang disukai

Turut campur masalah asmara dan pernikahan bagi orang lain ada kalanya sampai ke perjodohan -apalagi kalau sang perempuan tidak berpacaran dengan siapa pun-. Seorang sahabat saya panik karena perjodohan dan berkata kalau dirinya harus punya pasangan sebelum lebaran (upps). "Jika dijodohkan dengan orang yang disuka, mau aja! Tapi, karena memang tidak suka dengan yang dijodohkan -sudah kenal- ya... nggak mau." (DHF, XX tahun). Lihat, pemaksaan mencari jodoh demi menikah karena usia membuatnya desperate. (Sayang, saya belum mengubek info tentang pria yang disukainya).

Ada juga yang oke dengan perjodohan dan memulai PDKT. Namun, ujung-ujungnya diberi harapan palsu. Tidak ada keberanian dari pihak laki-laki untuk menegaskan perasaan atau hubungan mereka. Yang tersisa, kegalauan. 

Di sisi lain, ada yang punya masalah domestik -sudah ada calon tetapi ada masalah di luar sepasang kekasih tersebut- seperti restu orang tua, finansial, prestis, tuntutan karir dan sebagainya. Pilihan yang diambil sebagai jalan keluar salah satunya dengan sabar dan berdoa -menunda hingga kondisi memungkinkan. 

Sahabat yang lain malah berpendapat kalau usianya masih terlalu muda untuk menikah (Y, 24+ tahun). Dia ingin bebas dulu dan belum mau dipusingkan dengan urusan rumah tangga. 

Dan, terdapat tipe yang ingin menikah lalu memanfaatkan jejaring sosial -misal Tinder- untuk menemukan pria menarik, yang siapa tahu jodoh.

Para perempuan ini memiliki pemikiran, pengalaman, perasaan, dan rencana masing-masing mengenai pernikahan sembari melirik usia mereka. Namun, yang paling memberatkan adalah pertanyaan orang lain mengenai kapan menikah dan tentang calon. Percayalah, itu pertanyaan yang bikin jleb -untuk pada jomblowati. Orang lain mungkin tidak tahu kisah cintanya, perjuangan, harapan, atau sakit hatinya sang perempuan dan seenak jidat melontar pertanyaan klise tersebut. Yang, sebenarnya mengindikasikan tidak ada hal yang bisa dibahas selain menanyakan hal klise. Mungkin, kurang mengenal sang target yang ditanyai.

Usia dan pernikahan ini pun bisa menjadi hal menakutkan bagi pria yang perempuannya menyindir untuk dinikahi -seperti yang saya tonton di dorama Totsuzen Gekkon. Perempuan mungkin merasa bersaing dalam pernikahan di lingkungannya karena tidak suka pertanyaan klise atau memang ingin menikah. Tak tertutup kemungkinan, faktor usia yang dianggap 'cukup' atau 'tua' untuk menikah mempengaruhi pola pikir perempuan dan berimbas ke perilaku dan perasaan. 

Jika, orang lain tidak turut campur memertanyakan pernikahan yang diiringi usia, perempuan akan merasa nyaman dengan dirinya dan kehidupan asmaranya -tidak panik, terburu-buru, apalagi nekat. Sekali lagi, percayalah kalau perempuan berjuang untuk perasaannya -dan berdoa agar menemukan cinta sejati yang disatukan dalam pernikahan.

 



 
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru