Pindah Jurusan? Oke.
Usia 17 tahun, sebenarnya saya sudah tahu ingin belajar/jurusan apa sehingga saya memilih jurusan seni musik Universitas Negeri Jakarta untuk pilihan ketiga walau ketika di rumah dan bilang saya ingin belajar musik, ditanya, "Musik, mau jadi apa?".
Pilihan satu dan dua, diisi mengikuti 'kehendak orang' yaitu kedokteran umum dan gigi. Begonya, saya baru tahu ada ujian praktek untuk seni musik di hari kedua SPMB. Ya udah, gagal. Sementara kedokteran mah... ya... ikut-ikutan aja, nggak lulus ya udah.
Tahun kedua mencoba, SPMB beralih ke SNMPTN. Karena ketinggalan satu tahun dari teman-teman seangkatan SMA, saya masa bodoh dengan pilihan jurusan. Apa yang disarankan orang tua atau melihat prospek sebuah jurusan menjadi faktor saya terjebak di dunia TI, pokoknya kuliah.
Lulus dari mulut buaya, saya sangat menyadari kalau dunia saya bukan IT/TI sehingga ketika harus cari kerja dengan gelar S.Kom, berat banget. Lima tahun saya berkutat di IT, masa seumur hidup tersiksa?
Saya ogah-ogahan jika teman-teman atau keluarga menawari lowongan kerja yang menuntut saya memakai ijazah IT. Saya tidak punya kemampuan mumpuni, tidak juga berpassion di ranah itu tapi sepertinya orang yang tidak mengenal saya atau pura-pura paham selalu menyandingkan saya dan IT. Rasa frustrasi waktu tugas akhir tidak ingin saya alami lagi, saya ingin bebas dan melakukan apa yang BISA atau ingin saya lakukan.
Sewaktu karir menulis saya dimulai dengan terbitnya naskah saya secara indie dan mayor, saya berpikir bahwa inilah salah satu dunia yang nyaman untuk saya, bahkan seumur hidup pun oke. Lalu, ucapan seseorang yang menjadi inspirasi dan bikin cenat-cenut membuka pikiran saya. Dia bilang, "Bagaimana kalau ambil jurusan sastra di **?"
Setelah itu, saya langsung ambil langkah, bermanuver dari IT ke sastra.
Saat ini saya berada di Ilmu Susastra, peminatan Cultural Studies dan selalu merasa sebal kalau ditanya dosen mengapa anak IT masuk Sastra.
Kenapa bukan peminatan Sastra?
Saya ambil peminatan Cultural Studies karena tertarik dengan sebuah tema tesis yang saya temukan ketika pilah-pilih peminatan (ada empat peminatan, Filologi - Sastra - Kajian Tradisi Lisan - dan Cultural Studies, keempatnya di bawah satu jurusan yaitu Ilmu Susastra). Tesis itu membahas penonton bioskop di Indonesia dan film, melihat ke fenomena di balik penonton dan film. Sementara kalau Sastra, tesis yang saya temukan berkisar analisis karya ini-itu. Hati saya memilih Cultural Studies dengan orientasi tema tesis. Sementara jika ingin belajar peminatan Sastra, saya bisa ambil mata kuliahnya, tapi kalau tesis kan... sesuai peminatan.
Begitulah.
Ketika orang-orang di sekitar saya tahu saya bermanuver, kaget pasti. Sekali lagi, untuk yang tidak mengenal atau dikiranya dia kenal saya pasti kaget dan bilang, "Jauh banget dari IT ke Sastra. Mau jadi apa?" (lebih baik manuver daripada seumur hidup tersiksa menghadapi lautan koding, mau nyoba IT untuk tahu betapa sulitnya saya bertahan di sana? Mau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukai seumur hidup?)
Yang memahami saya dan tahu keras kepalanya saya di dunia menulis, pasti... "Akhirnya sadar juga," seperti yang diucapkan dua sahabat SMA saya :). Mereka tahu minat menulis saya sejak SMA.
Ketika berada di Cultural Studies, saya punya mimpi-mimpi baru untuk karir (Nambah deh alasan mengapa orang itu spesial dan susah bikin move on.
Selanjutnya, saya ingin belajar musik -aransemen- dan mewujudkan desain-desain pakaian yang saya gambar. Maruk? Ya.
Otak saya penuh dengan beragam hal yang saya sukai sejak kecil tapi orang-orang malah menyodorkan hal yang saya benci (sewaktu baru lulus). Saya punya rencana tersendiri, saya yakin pada apa yang saya punya dan perjuangkan sejak dulu. Just watch.
Jadi, teruntuk kamu yang sedang menyesal pada jurusan yang dipilih.
Kamu bisa melakukan manuver. Bergeraklah ke arah passion dan cita-citamu meski orang lain tidak mendukung.
Kamu pasti bisa. PASTI.
Komentar
Posting Komentar