[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XIX
Tatkala
Yuka membuka mata, sinar dari lampu putih memenuhi penglihatan. Setelah
beberapa detik, ia menangkap sosok ibunya dan dua orang asing. “Kuraki Yuka, ah
salah… Akihiro Yuka,” Emi menyapa dengan wajah angkuh.
“Tuan, tak disangka apa yang Anda
cari ada pada anak Anda, bahkan sudah memakai marga Anda,” lanjut Emi sambil
menyentuh wajah Yuka. Yuka yang terbaring menyadari kalau dirinya berada di
tempat asing, sebuah ruang putih dengan banyak alat, bak di laboratorium atau
kamar operasi. Dia menoleh ke sana kemari, menatap ibunya yang hanya geming
lalu ke Emi dan laki-laki bertubuh besar. Ia ingat laki-laki itu, ia
mengenalnya.
“Yuka-chan, selamat karena sudah menikah dengan Yuki. Dasar! Kalian tidak
bilang-bilang kalau menikah,” Tuan Akihiro berjalan dan menatap Yuka tegas. “seharusnya
kau mengunjungiku. Aku ini ayah mertuamu.”
Yuka merasa ganjil dengan ekspresi
Tuan Akihiro. Biasanya Tuan Akihiro lembut, tapi sekarang imejnya beda.
Diam-diam rasa takut merayapi Yuka.
“Miwa-san benar-benar peramal hebat. Dia akhirnya berguna juga. Emi,
sekarang perintahkan Miwa menyelidiki bagaimana cara kita mendapatkan kekuatan
suci itu!” titah Tuan Akihiro tegas sambil berlalu dari hadapan Yuka. Ibu Yuka
juga berangsur pergi sementara Emi, meliriknya sebentar kemudian meninggalkan
Yuka.
Yuka menghela napas dan
bertanya-tanya tentang apa yang tengah menimpanya. Ia lalu menyadari kalau
kedua kaki dan tangan dirantai. Yuka berteriak meminta penjelasan, memanggil
ibunya tapi hanya gema suara saja yang merespons.
“Hiroyuki-han…”
Wajah Hiroyuki terbayang dan hal itu
membuat Yuka merasa lebih kesepian.
“Wahai angin yang berhembus lembut,
wahai angin yang mengelilingi semesta ini. Tiupkan sedikit napas pada
rantai-rantai yang membelit!” Yuka berkomat-kamit, meski tangannya tak bisa
disatukan untuk membentuk simbol, Yuka tetap mencoba merapal mantra.
Tak ada yang terjadi.
Yuka mencoba lagi dan lagi tapi
hasilnya tetap nihil.
Ia mencoba mantra yang lain… tak ada
hasilnya.
●●●
Miwa
berdiri kikuk dan berpandangan dengan Yuka. “Se-selamat siang, Yuka-chan.”
Yuka membalas senyuman di bibir Miwa
dengan kaku. Di belakang Miwa berdiri Emi, membawa sebuah kotak dan
mengeluarkan gulungan kuno dari sana. “Jadi, menurutmu Yuka bisa membaca ini?”
Emi melambaikan gulungan pada Miwa. Miwa tampak skeptis, tapi ia mengangguk.
Yuka tercekat melihat gulungan yang
menghilang ada pada Emi. Emi melihat wajah terkejut Yuka yang membuatnya
berspekulasi Yuka pernah tahu dan melihat gulungan itu. Pelan-pelan suara
sepatu scarpin yang mengekspos bagian
punggung dan sebagian jari kaki mulus itu terdengar mendekat ke arah katil
tempat Yuka dirantai.
“Kau pernah dengar gulungan yang
mencatat soal kekuatan suci?” tanya Emi. Yuka hanya geming.
“Kau tahu sesuatu? Familier dengan ini?” Emi
menunjukkan gulungan yang sudah dibuka itu ke depan muka Yuka. Yuka menahan
napas, gulungan yang hilang itulah yang kini ada di hadapannya.
Yuka mengalihkan pandangan dari Emi
dan gulungan, “Tak tahu.”
“Oh,” Emi menggulung kembali
gulungan tersebut dan menjauh dari Yuka. “Miwa, buka rantainya dan ajak dia ke
tempat itu.”
Miwa menerima kunci rantai dari Emi,
membuka rantai-rantai yang membelit Yuka.
“Yuka-chan, mari kita lihat sebuah pertunjukkan.” Mata hitam Emi tampak
berkilat-kilat, senyuman angkuh terselip di bibir. Yuka dan Miwa berjalan
berdampingan di belakang Emi, keluar dari ruang penyekapan Yuka.
Mereka lalu sampai pada sebuah
pintu, setelah Emi menekan tombol masuk. Pintu besi itu terbuka. Di dalam ruang
besar, luas, dan dingin itu terduduk Nyonya Kuraki, ibu Yuka. Ibu Yuka berwajah
pucat dengan rantai mengelilingi kedua kaki.
“Ibu!” Yuka menghambur masuk dan
memeluk ibunya. Nyonya Kuraki tersentak, “Yuka, kenapa kau ada di sini?
Bukankah ayahmu sudah memintamu ke Tokyo untuk bersama Hiroyuki?”
“Ibu yang membawaku ke sini.”
“Aku? Bagaimana bisa? Aku… aku saja
ditawan oleh mereka! Ayahmu? Ayahmu mana? Mereka juga menangkapnya?”
Dengan cepat benak Yuka mengingat
pin naga yang tersemat di bagian dada kiri kimono ibunya, yang kini tidak ada
lagi. Dalam sekejap Yuka menyimpulkan kalau pin naga itu adalah alat untuk
memperalat serta tempat menanam peledak jika sesuatu yang buruk terjadi. Mata
lembutnya lantas bertubrukan dengan mata hangat Nyonya Kuraki. “Ibu, aku pasti akan
menyelamatkan ibu dan ayah,” janji Yuka.
“Nah, sepertinya kau sudah tahu
kalau ibumu yang waktu itu menjemput adalah ibumu yang kami kendalikan,” Emi
buka suara, menarik Yuka agar menjauh dari Nyonya Kuraki. Wajah cantiknya
lantas menjadi kelam, “Kau bisa membaca gulungan, kan? Jika kau tak membacanya
untuk kami maka ibumu… akan mati diledakkan.” Emi melirik Miwa, memintanya
menyematkan pin naga di dada kiri kimono Nyonya Kuraki.
Yuka membelalakkan mata, berteriak agar
Miwa tak melakukan penyematan tapi Miwa
yang juga memakai pin naga tak bisa apa-apa selain menuruti perintah Emi.
Emi mengeluarkan sebuah remote kecil
dari saku pakaian, melambaikannya pada Yuka. “Mari lihat, apa yang bisa
diperoleh ibumu jika kau membangkang…” Emi menekan salah satu tombol.
“Aarrrgh!” Nyonya Kuraki menggeliat
kesakitan di kursi tempatnya duduk. “Listrik akan menjalari tubuhnya. Well… hanya beberapa volt saja. Tidak
akan mati,” bisik Emi sadis. Yuka semakin berteriak dan berontak, walau tubuh kecilnya
sudah ditahan oleh seorang laki-laki yang entah muncul dari mana dan sejak
kapan.
“Ehm… apa lagi, ya?” Emi melirik
Yuka sejenak sambil menekan kembali tombol di remote.
“Aaargh!” sekali lagi Nyonya Kuraki
menjerit kesakitan hingga terduduk di lantai, air mata mengenangi wajah ayunya.
“Ibu!!” Yuka tak tega melihat
penyiksaan ibunya.
Emi bak iblis, dia semakin menikmati
penyiksaan sadis itu. Miwa yang hanya melihat gemetaran, membayangkan kalau ia
membangkang akan menerima hukuman seperti itu juga. Pin naga itu jua tak bisa
dilepas kecuali oleh Emi atau Tuan Akihiro karena ada sensor pengenal di
dalamnya.
“Jadi, Yuka-chan… sekali lagi kutanya, kau bisa membacanya?”
Yuka menelan ludah. Tanpa berpikir
panjang ia mengangguk. Emi tampak puas, dia mengambil gulungan dan menyodorkan
pada Yuka. Yuka mengamati gulungan itu dan berpikir cepat untuk menyelamatkan
ibunya sebelum ia dihancurkan.
“Da-dalam jiwa penjaga kuil terjaga
kristal suci yang menggetarkan dunia…” Yuka membaca dengan suara takut
sementara tangannya yang ditahan di belakang punggung oleh seorang penjaga
bergerak-gerak, “Jadilah diriku dan kecoh orang-orang itu,” sambung Yuka pelan.
Ia berhasil mengambil sebuah kertas mantra di kantong belakang celana,
tangannya bergerak membentuk simbol-simbol.
Setelah mantra shikigami, Yuka merapal mantra menghilang. “Jadikan diriku tak
terlihat! Jadikan diriku menghilang!”
Dalam sekejap shikigami muncul dari belakang penjaga dan Yuka yang ditahan
penjaga menghilang. Emi terperanjat kaget, “Dia menggunakan kekuatannya!”
teriak Emi.
“Ah, kau kira aku mudah
dikendalikan?” shikigami menyeringai
pada Emi. Penjaga segera bergerak untuk menangkap shikigami, tapi shikigami yang
lincah berhasil lolos dan merebut remote di tangan Emi.
Yuka yang sudah berdiri di dekat
ibunya langsung mengucap mantra, “Wahai angin yang berhembus lembut, wahai
angin yang mengelilingi semesta ini. Tiupkan sedikit napas pada rantai-rantai
yang mengikat!”
Ditunggu beberapa detik pun tak ada
angin yang mendengar permintaan Yuka.
Di mode menghilang, kekuatan Yuka
jadi tak stabil.
“Sudah kuduga akan susah menghadapi
si kekuatan suci,” Emi tersenyum sambil bertatapan dengan shikigami.
Seeeet!
Sebuah panah kecil
terlempar ke arah shikigami. Emi
kembali menyeringai sombong, “Kalau kau diam saja, saya tak akan menggunakan
metode ini.”
Yuka tiba-tiba ambruk bersamaan
dengan ambruknya shikigami.
“Bawa dia ke tempat penyekapan,” Emi
memerintah penjaga untuk membawa shikigami.
Saat tubuhnya bisa digerakkan kembali, Yuka melesat keluar bersamaan dengan
ditutupnya kamar penyekapan Nyonya Kuraki. “Ibu, aku pasti akan
menyelamatkanmu.”
●●●
Di
pertengahan jalan, Yuka merasa kakinya berat hingga susah melangkah. Ia
berspekulasi kalau shikigami sedang
diberi obat pelumpuh yang juga berakibat kepadanya meski tidak 100% melumpuhkan.
Dengan tertatih, Yuka mengamati tempat ia berada, sebuah gedung besar yang
mencakar langit. Orang-orang berpakaian hitam-hitam lalu-lalang, keluar masuk
ruang-ruang. Di dada kiri mereka tersemat pin naga.
Yuka lantas berhenti di depan ruang
bertuliskan RISET. Seseorang terlihat keluar dari ruang itu. Awalnya Yuka tak
peduli tapi ketika matanya melihat jelas sosok itu, jantungnya terasa berhenti
berdetak sepersekian detik. Pupil mata hitam Yuka membesar, orang yang barusan
dilihat Yuka itu memakai jas hitam seperti kebanyakan orang di sini meski ia
tak memakai pin naga.
Wajah Yuka memucat dan dia
gemetaran. Hatinya memanggil Hiroyuki, ia ingin memberitahu Hiroyuki perihal
ini.
●●●
“Rencana
menyamar jadi Akito harus dirubah,” Froshe mengetuk-ngetuk meja dengan jari,
wajahnya begitu serius. Kasus menghilangnya Yuka yang dicurigai dibawa oleh
Perserikatan Anti Sihir telah menguras konsentrasi Froshe dan Mai sebagai
detektif polisi. Sudah beberapa hari ini mereka melakukan penyisiran dan
penyusuran namun belum ada hasil atau petunjuk. Perserikatan itu benar-benar bersembunyi
dengan baik.
Hiroyuki terpekur mendengar Froshe
dan laporan-laporan yang nihil tentang keberadaan Yuka atau Perserikatan Anti
Sihir. “Bisa gawat kalau kekuatan Yuka-chan
disalahgunakan oleh mereka,” sambung Mai.
“Jika kekuatan Yuka direbut mereka,
itu artinya…Yuka tak ada lagi di dunia,” lirih Hiroyuki. Froshe dan Mai menoleh
serentak. Mereka tak mengerti apa hubungan kekuatan Yuka yang direbut dengan
tak adanya Yuka di dunia lagi. Hiroyuki perlahan menceritakan apa yang ia
dengar dari Yuka soal isi gulungan tersebut. Kata-kata ‘hisap jiwa sang penjaga
kuil’ bisa diartikan sebagai kematian, Yuka harus dibunuh agar kekuatannya bisa
berpindah.
Mendengar hal itu, Froshe dan Mai
semakin geram dan kalut.
●●●
Krek.
Hiroyuki membuka pintu apartemennya
tanpa tenaga. Setelah masuk, ia terduduk dan memandang nanar ke sekeliling,
mencari sosok Yuka. “Yuka…”
“Hiroyuki-han!”
Sontak Hiroyuki melihat sekeliling,
ia sempat meragukan pendengaran namun suara Yuka yang memanggil terus terdengar.
Hiroyuki melesat ke ruang keluarga, menghidupkan lampu dan mendapati Yuka dalam
mode menghilang tengah terbaring di tatami. Wajah Yuka tampak pucat tak
bertenaga, Hiroyuki segera mendekat dan tersenyum. “Yuka-chan…”
“Syukurlah, aku sudah menunggu tiga
hari tapi kau tak datang-datang, Hiroaki juga tak ada. Aku sudah tak punya
kekuatan untuk bergerak. Efek obat di shikigami
membuatku seperti ini,” urai Yuka.
“Yuka…” Hiroyuki tak sanggup
berkata-kata karena terlalu banyak yang ia ingin katakan. Tangan yang hendak
menyentuh Yuka ia urungkan karena Yuka yang sekarang adalah udara, lagipula… mereka
masih dalam hubungan platonis.
“Perserikatan itu… berada di…” Yuka
merasa berat melanjutkan kata-kata karena takut menyakiti Hiroyuki.
“Di…” Hiroyuki menanti kata-kata
Yuka.
“Perserikatan…”
Sebelum Yuka menuntaskan kata-kata,
ia jatuh tertidur. Hiroyuki menghela napas lega, meski semuanya belum
terselesaikan, melihat Yuka di hadapannya saja sudah sangat membuat Hiroyuki bahagia.
Ia berbaring di samping Yuka, memandang Yuka lekat-lekat dan berbisik, “Aku
merindukanmu.”
●●●
Froshe
dan Mai memandang udara di samping Hiroyuki. Hiroyuki baru saja mengatakan
kalau Yuka ada di sampingnya dalam mode menghilang. Karena di mode menghilang
ia tak bisa mengatur kekuatan, jadi tak bisa mengembalikan bentuk fisik seperti
semula. Froshe dan Mai hanya bisa percaya pada Hiroyuki karena mereka tahu
sejak dulu Hiroyuki memang punya kemampuan melihat hal-hal yang tak bisa
dilihat kebanyakan orang.
“Jadi, Yuka-chan… kau tahu di mana kau disekap?” tanya Froshe.
Yuka yang baru pulih dari efek obat
yang menyerang shikigami menoleh pada
Hiroyuki, “Perusahaan Akihiro di Tokyo,” jawabnya.
Hiroyuki menelan ludah dan
menyampaikan jawaban Yuka ke Froshe dan Mai. Dua sahabat Hiroyuki itu sampai
berdiri mengetahui kalau Perserikatan Anti Sihir itu ternyata berada di
belakang Perusahaan Akihiro, perusahaan milik ayah Hiroyuki. Orang yang
seharusnya dipanggil Yuka dengan sebutan ayah mertua.
Froshe dan Mai tercekat, memandang
lurus Hiroyuki. “Bagaimana bisa Paman Akihiro adalah pemimpin Perserikatan Anti
Sihir dan menyerang keluarga besannya sendiri?” mereka kompak bertanya.
Hiroyuki berdecak, “Aku sendiri
bingung mengapa dari sekian banyak keluarga dan anak perempuan kenalannya, aku
ditunangkan dengan putri keluarga Kuraki yang sangat berbeda usia denganku.
Setiap kali kutanya, ayahku hanya bilang ini perjanjian pribadinya dengan Tuan
Kuraki.”
“Paman Akihiro… mengincar Yuka sejak
awal? Dia mengetahui kekuatan suci itu dan berusaha mendapatkan Yuka di bawah
kakinya?” Froshe melayangkan pertanyaan analisis pada Hiroyuki. Hiroyuki
menggenggam erat tangannya.
“Hiroyuki… apa yang akan kau
lakukan?” Mai bertanya, melihat lurus Hiroyuki yang tampak pasrah pada
kenyataan.
Hiroyuki pelan-pelan mengangkat
kepala dan tersenyum, “Tentu saja menghancurkan Perserikatan Anti Sihir, kan?”
Froshe, Mai, dan Yuka menatap
Hiroyuki.
“Enam tahun tak bersua dan aku harus
reuni sambil memukul muka orang itu.” Hiroyuki menyeringai.
●●●
Hiroaki
terkejut saat apartemennya dikunjungi Hiroyuki, Froshe, dan Mai malam itu. Dia
belum memberitahu siapa pun –bahkan Hiroyuki- mengenai apartemen barunya,. Ia
pindah apartemen karena seniornya di penerbitan menawarkan apartemen.
Kepindahan Hiroaki terburu-buru, lantaran Hiroyuki menghilang juga setelah
kasus menghilangnya Yuka, Hiroaki yang tak tahu keberadaan Hiroyuki akhirnya
pindah tiba-tiba.
Hiroyuki bak tuan rumah segera
bergegas masuk dan mempersilahkan Froshe dan Mai untuk ikut masuk dan duduk di
mana pun mereka suka. Hiroaki tampak kaget tapi ia tak bisa menolak tamu yang terlanjur
mengitari meja tamu. Hiroaki menyuguhkan minuman dan buah semangka ke hadapan
para tamu.
Froshe mencomot satu iris semangka
tanpa biji itu dan membuka pembicaraan, “Kami ingin kau bekerjasama dengan
kami.”
“Tentang apa?” seru Hiroaki.
Hiroyuki mengambil alih penjelasan,
mulai dari pertunangan dengan Yuka, kekuatan suci Yuka, hingga Perserikatan
Anti Sihir serta memberitahu kalau Yuka ada di ruangan ini dalam mode
menghilang dan yang ada di Perserikatan Anti Sihir adalah shikigami. Hiroaki mencerna semua informasi itu tanpa protes meski agak
tak percaya dengan kekuatan suci alias sihir apalagi fakta kalau ayahnya berada
di balik peristiwa penyerangan kuil-kuil di Kyoto dan beberapa tempat umum atas
nama menjaga perdamaian dari sihir.
“Jadi, apa yang bisa aku lakukan?”
Hiroaki memandang Hiroyuki dengan tatapan menurut. Hiroyuki mengerling.