[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - Special Chapter
Special Chapter
‘Orang Yang
Selalu Di Sampingku’
Orang itu selalu di
sampingku,
Sampai-sampai aku
berpikir tak perlu kata-kata untuk menjadikannya milikku karena dia sudah jadi
milikku.
Tapi, aku salah. Jika
tak ada kata-kata maka perasaan ini seperti berharap dengan penuh keangkuhan.
(Froshe).
“Aku selalu penasaran apa yang
selalu kau tulis di notes padahal kita sedang break.” Mai melempar sebungkus roti cokelat yang ditangkup tepat
oleh Froshe. Froshe bergegas menutup notes dan tersenyum, “Hanya coret-coretan
tak berarti,” balasnya.
Mai menaikkan alis tak percaya.
“Froshe-sama, gawat! Cin-…” Froshe melesat cepat dan menutup mulut
bawahannya yang tiba-tiba membuka pintu dan berteriak, dengan mendelik Froshe
menarik tangan bawahannya dan menutup pintu ruang kerja. Mai memandang Froshe
yang berlalu dengan penasaran tapi ia tak peduli. Matanya lantas tertegun pada
notes kesayangan Froshe, perlahan Mai melangkah dan meraih notes itu. Ia
benar-benar penasaran dengan apa yang ditulis oleh Froshe di sana.
Apa pendapatnya tentang
pernikahan?
Apa musim yang dia suka?
Mai mengerutkan kening membaca
tulisan demi tulisan tangan Froshe. Diari. Ya, isi notes itu ternyata adalah
diari. “Tentang siapa? Siapa dia itu? Apa Froshe menaksir seorang wanita?
Siapa? SIAPA?” Mai terlonjak, ia segera menutup notes Froshe karena mendengar
suara langkah kaki mendekat.
“Mai?” Froshe memanggil, Mai tanpa
melihat Froshe mendorong Froshe dan keluar. Kenapa
dia? Batin Froshe bingung.
“Mai!”
Froshe menahan tangan Mai, sudah satu minggu Mai tak menegur atau berbicara
sepatah kata pun. Mai begitu dingin pada Froshe dan itu membuat Froshe bingung
bukan kepalang. Ia sudah mencari-cari kesalahannya tapi ia tak merasa bersalah
karena itu ia tak minta maaf. Ia orang yang tak akan meminta maaf kalau tidak
bersalah. “Kenapa kau menghindariku? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu
marah? Tolong jelaskan padaku. Kita bukan anak kecil yang bertengkar dengan
saling mendiamkan.” Froshe menarik Mai ke ruang kerjanya, mengunci ruang itu.
Mai mendengus dan Froshe menarik
napas kesal.
“Mai, tolong jelaskan kenapa kau
marah?”
“Aku tak marah.”
“Lantas kenapa menjauhiku? Kenapa
tak bicara padaku?”
“Malas.”
“Kenapa? Kita sudah bersahabat sejak
lama, kita selalu berbicara…”
“Karena selalu bicaralah aku jadi
kehilangan mood berbicara padamu.”
“Mai!”
Mai terdiam dan mata beningnya mulai
berair. Froshe berdiri dari sofa, dia bingung. Dia tak pernah melihat Mai
seperti ini. “Aku… aku akan menyatakan perasaanku pada seseorang,” tiba-tiba
Mai berkata seperti itu, kata-kata yang membuat aliran darah Froshe terasa
berhenti mengalir. Dia membesarkan mata dan menatap Mai tak berkedip.
“Aku sudah memikirkannya selama satu
minggu ini. Kurasa, saat ini adalah waktu yang tepat,” sambungnya tegas sambil
berdiri. Froshe seketika merasa frustasi, dia menahan tangan Mai, memohon agar
tak menyatakan perasaan pada seseorang. “Be-beritahu aku dulu, siapa laki-laki
itu?” suara Froshe terdengar begitu pahit.
Mai mengulas senyum, “Kau.”
Tepat menusuk hati Froshe.
“Aku?”
“Ya, kau.”
Froshe terpaku hingga dia tak bisa
bergerak, bibirnya keluh.
“Setelah pengakuanku ini, aku akan
ikhlas ketika kau akan menikah dan bersama dengan wanita yang kau sukai itu,”
lanjut Mai.
“Eh? Apa maksudmu?”
“Maaf, aku membaca notesmu. Aku tahu
kau menyukai seseorang dan mungkin akan segera melamarnya. Jadi, sebelum itu
terjadi dan aku memendam perasaan ini, maka aku akan jujur padamu…”
“Kau membacanya?” wajah Froshe
memerah.
“Ya. Kau ternyata romantis juga.”
Froshe berharap saat ini ada bantal
untuk menutup mukanya. “Biar aku duluan yang menyatakan perasaanku.” Froshe
menatap Mai dengan menekan segenap kegugupan di dirinya. Mai tersentak. “Aku
menyukaimu. Maukah kau menikah denganku?” Froshe menundukkan wajah. Kata-kata
yang sudah ia simpan sejak bertahun-tahun yang lalu kini telah tersampaikan
pada orangnya. Pada Mai yang terpatri di hatinya.
Giliran Mai yang terpaku padahal
tadi dia sudah siap dengan pengakuan sekaligus penolakan dari Froshe. Mendengar
lamaran dari Froshe secara mendadak membuat Mai terpekur, ia memandang lantai
ruang kerja Froshe sebelum berkata, “Aku mau.”
Mereka berdua terdiam untuk waktu
yang lama sebelum akhirnya ketegangan mereka memudar. Mereka terduduk di sofa
lalu tertawa.
“Rencananya aku ingin melamarmu
minggu depan, di hari ulang tahunmu dengan sebuah cincin yang sudah kupesan,” tukas
Froshe, matanya memandang jauh, tak berani melihat wajah Mai. Mai begitu jua,
ia mengalihkan pandangan dari Froshe.
“Hadiah ulang tahun… aku ingin
notesmu,” Mai berbisik.
Froshe tersentak tapi ia mengangguk.
[PANDEMONIUM
- TAMAT].