[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - EPILOG
“Selamat
ulang tahun!” Yuka menyodorkan sebuah kado pada Hiroyuki sepulang dari sekolah.
Hiroyuki menerima dan segera membuka kado tersebut. Sebuah buku, berjudul Blue Moon atas nama U-Ka.
“Novelmu?” tebak Hiroyuki.
Yuka mengangguk. Hiroaki –editornya-
minggu lalu mengabarkan kalau versi cetak novel perdana Yuka sudah jadi dan
Yuka meminta satu sampel lebih cepat agar bisa diserahkan sebagai kado ke
Hiroyuki. Perihal naskah Yuka yang diterima oleh penerbit tempat Hiroaki
bernaung tak diketahui oleh Hiroyuki karena Yuka tak mau mengecewakan Hiroyuki
jika hasilnya jelek, ah sebenarnya lebih karena dia tak mau Hiroyuki tahu apa
yang ia tulis, setidaknya sampai naskah itu menjadi buku.
Buku itu berisi perasaannya untuk
Hiroyuki.
Hiroyuki segera membuka plastik
penyegel buku, mengambil pena dari tas kerja dan menyodorkan halaman pertama
itu pada Yuka. “Tolong, tanda tangani,” pintanya.
Yuka tersenyum, meraih novel itu dan
membubuhkan tanda tangan. Ia lalu menulis,
Untuk
Hiroyuki-han tercinta.
Wajah mereka berdua
lantas memerah serempak.
“Mimpimu sudah terwujud, kau sudah
di pintu masuk untuk memanjangkan mimpi…” Hiroyuki memandang buku Yuka sambil
membolak-baliknya, masih merasa takjub karena Yuka secepat itu meraih mimpi.
Yuka tersipu, “Itu karena Anda menyemangati dan membuatku berlatih setiap hari.
Terima kasih.”
Anda?
Hiroyuki merasa geli mendengar
padanan kata yang dipilih Yuka untuk dirinya. “Yuka, apa kau mau belajar sastra
agar bisa memperdalam tulisanmu? Orang tuamu meninggalkan warisan untuk biaya
sekolahmu… aku akan membant memilih universitas yang punya jurusan sastra.”
Yuka memandang lurus Hiroyuki,
“Baik.”
Hiroyuki kemudian mengambil sesuatu dari
dalam tas kerja, meminta Yuka mengulurkan tangan kanan.
Sebuah cincin polos disematkan
Hiroyuki di jari manis Yuka. “Maaf, aku baru bisa memberikanmu cincin
pernikahan sekarang.”
“Terima kasih.”
Yuka memandang cincin, lalu melirik
kalung di lehernya. Benda-benda dari Hiroyuki. “Hiroyuki-han, di hari kelulusan nanti… apa aku bisa meminta hadiah
kelulusan?” Yuka bertanya dengan perasaan was-was. Hiroyuki menaikkan alis,
menerka-nerka apa yang diinginkan Yuka.
Siiing…
Tak ada suara pun
terdengar kecuali suara napas Hiroyuki dan Yuka. Yuka menundukkan kepalanya
lama sekali, “Aku… aku…”
“Kalau kau tak bisa mengatakannya,
tulis saja di surat seperti biasa.”
Yuka merasa kesal karena tak berani
menyampaikan apa yang sudah ada di ujung lidah. Ia sudah latihan mengucapkan
kata-kata dan telah memikirkan matang-matang hadiah kelulusan ini. Setelah jeda
beberapa lama, Yuka menekan erat rasa ragu dan berteriak, “Aku ingin kau menyentuh
dan tidur denganku!”
Wajah Hiroyuki memerah begitu juga
Yuka. Yuka akhirnya lega karena bisa mengatakannya. Sejak peristiwa di malam
akhir libur musim panas itu, Yuka dan Hiroyuki tak melangkah ke jenjang apa
pun. Hiroyuki semakin ketat dengan peraturan hubungan platonis bahkan ia
memakai kantong tidur. Ia melarang sentuhan bahkan bergandengan tangan
sekalipun. Hiroyuki benar-benar jadi penghindar Yuka dan terkadang dia meminta
Miki menginap sementara dia akan tidur di apartemen Hiroaki. Yuka sudah cukup
dengan jarak di antaranya dan Hiroyuki. Dia sudah bersabar lama agar tak
menyentuh Hiroyuki.
“Ehm…” Hiroyuki geming, keringat
panas mengucur padahal sedang berada di musim dingin.
“Pokoknya… sentuh dan tidur
denganku!”
Yuka merasa urat malu sudah lepas
sehingga bisa menyatakan permintaannya lagi secara gamblang. Hiroyuki menutup
muka, “Baik. Tapi… kau benar-benar penyerang yang tak pernah kusangka, harusnya
aku yang bilang seperti itu…”
Yuka memalingkan wajah. “Maaf.”
“Kalau begitu, bersiaplah untuk
malam-malam setelah kelulusan. Ah, kurasa pagi atau siang pun tak masalah… sepanjang
hari juga tak apa.”
Wajah Yuka merona dan dia melempar
pena Hiroyuki ke Hiroyuki yang menggodanya.