[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XXII
Hiroyuki
ingat sekali kalau ia berada di apartemennya setelah pulang dari panti asuhan
tempat Miki berada. Anehnya, saat membuka mata pagi itu… ia menemukan dirinya
terjebak di sebuah ruang berdinding abu-abu, berjeruji besi, lembab, gelap, dan
dingin. Setelah kesadarannya pulih, Hiroyuki menuju jeruji besi dan mengamati
lingkungan di luar jeruji. Semua hal yang bisa dijangkau oleh manik mata
hanyalah jeruji besi, kamar penjara yang sama sepertinya.
“Siapa pun! Siapa pun!” Hiroyuki
berteriak memanggil siapa saja yang bisa diteriaki, tak satu pun menyahut atau
terlihat bahkan makhluk kasat mata yang kadang ditangkap oleh retinanya pun tak
ada.
Setelah beberapa jam dan perutnya
berbunyi, seorang wanita cantik yang familier mendekat ke pintu jeruji,
menyodorkan makanan dan minuman. Hiroyuki mendelik, ia mengenal jelas wanita
itu. Wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris kepercayaan ayahnya,
Morishige Emi. Melihat Emi, Hiroyuki tersadar di mana ia berada. Ia sedang
ditawan di perusahaan ayahnya sendiri, Perserikatan Anti Sihir. Tak jauh dari Emi,
berdiri seperti patung, Miwa.
“Hiroyuki-sama, lama tak berjumpa.” Emi menyapa basa-basi.
Hiroyuki mendengus. “Kenapa aku ada
di sini?”
“Tuan Akihiro ingin mengamankan Anda.”
“Kalian menjadikanku tawanan?” tebak
Hiroyuki. Emi tersenyum, “Anda memang pemuda yang cerdas makanya Tuan Akihiro
mati-matian ingin Anda menggantikannya di perusahaan. Apa Anda ingin berubah haluan?
Saya bisa menyampaikan pada Tuan Akihiro jika Anda merasa gengsi mengutarakan,”
tawar Emi.
Hiroyuki menggepalkan tangan dan
memukul jeruji, “Keluarkan aku!”
“Hiroyuki-sama, Anda harus tetap di sini sampai semua keadaan aman. Saya
permisi dulu.” Tanpa menghiraukan jeritan Hiroyuki yang minta dibebaskan, Emi
dan Miwa berjalan menjauh.
●●●
Tsuneo
terpaku kala menerima kunjungan mendadak dari Miki dan Isamu. Tanpa ba bi bu, dua orang tersebut melesat ke
kamar Tsuneo. Mereka memang sudah biasa bersikap seperti itu, bertingkah
seenaknya seperti di rumah sendiri yang
membuat malas Tsuneo mengundang mereka ke rumah. Setelah sampai di kamar
Tsuneo, Miki dan Isamu mencomot kue-kue yang selalu tersedia di meja belajar
Tsuneo. Isamu lantas menghidupkan PS4 milik Tsuneo tanpa minta izin. Tsuneo
menutup pintu kamar dan memandang keki pada dua makhluk ajaib yang entah
mengapa tak bisa ditolak sebagai sahabat. Padahal, jauh dalam hati Tsuneo ia
ingin menghindari dua orang itu apalagi libur musim panas segera berakhir. Ia
ingin menikmati masa-masa tanpa gangguan Miki dan Isamu. Tapi, gagal.
“Tsuneo-kun, apa kau ada kabar dari Yuka-chan? Dia tak bisa dihubungi, dia tidak punya Hp sih. Sensei juga tidak ada di apartemennya.
Apa mereka liburan, ya?” keluh Miki, mulutnya penuh dengan cokelat truffle cake.
“Jika kau saja tak dapat kabar
apalagi aku, kan?” balas Tsuneo gugup sambil melirik botol kecil di meja
belajar. Miki menangkap arah mata Tsuneo, ada rasa curiga di benak karena
selama ini ia tahu Tsuneo tak suka parfum, dia bilang parfum itu hanya untuk
yang jarang mandi atau tidak percaya diri dengan bau –harum- badan sendiri.
Botol kecil seperti botol parfum itu menarik minat Miki diam-diam.
“Wow, kau punya parfum… kosong?”
Miki merampas botol kecil di meja belajar Tsuneo. Tsuneo terperanjat, berusaha
meraih botol itu dari Miki. Miki melirik Isamu, Isamu yang tak mengerti apa
yang terjadi hanya bersigap saat Miki melempar botol itu padanya. Tsuneo kini
ingin merebut dari Isamu, Miki memainkan mata ke arah si kacamata, meminta
Isamu melempar padanya.
“Miki!” Isamu melempar botol…
Miki sudah bersiap menangkap,
Praaang!.
Tangan Miki meleset dan
botol kecil itu pecah. Wajah Tsuneo memucat begitu juga Miki dan Isamu. Mereka
mendadak merasa berdosa telah menghancurkan parfum Tsuneo padahal niat Miki
hanya ingin menggoda Tsuneo yang selalu menolak parfum.
“Yuka!” Tsuneo memekik.
Isamu dan Miki saling berpandangan.
“Aku di sini,” Yuka memanggil
Tsuneo. Tsuneo menoleh, Yuka yang berdiri di belakangnya sudah kembali ke
ukuran semula meski masih berupa udara. Tsuneo tersenyum lega, ia sempat
berpikir Yuka hancur seperti botol parfum.
“Apa botol itu dari Yuka?” tanya
Miki.
“Bukan…” Tsuneo memungut pecahan
botol itu agar tak terinjak. Miki dan Isamu membantu Tsuneo mengumpulkan
pecahan botol sambil meminta maaf. Tsuneo mendengus kesal, tanpa botol itu ia
tak bisa mengurung Yuka untuk dirinya sendiri.
Miki, Isamu, Tsuneo, serta Yuka keluar
dari kamar Tsuneo untuk mengantar Miki dan Isamu yang hendak pulang. Mereka
sudah seharian mengusik ketenangan Tsuneo. Tsuneo melompat dalam hati saat keduanya
bilang pamit. Langkah yang menuruni tangga itu lantas terhenti saat suara dari
televisi mencapai syaraf-syaraf pendengaran mereka. Awalnya tak satu pun fokus
pada berita televisi yang ditonton ibu Tsuneo, tapi lama-kelamaan mereka
tertarik apalagi saat melihat orang-orang berpenampilan seperti anggota
Perserikatan Anti Sihir di layar TV besar. Isamu dan Miki langsung berlarian
hingga ibu Tsuneo menoleh kaget.
“Tante, tolong besarkan volumenya,” pinta
Isamu.
Ibu Tsuneo hanya menuruti permintaan
Isamu, suara televisi pun membesar.
“Hari
ini masyarakat dihebohkan dengan video pengakuan dari salah satu anggota
Perserikatan Anti Sihir. Mereka mengklaim telah menemukan sang pemilik kekuatan
suci dan berjanji akan memusnahkan kekuatan suci yang diprediksi bisa mengancam
kedamaian dunia. Perserikatan Anti Sihir meminta seluruh lapisan masyarakat
agar turut membantu jalan menuju kedamaian ini dengan cara melaporkan apabila
melihat sesuatu yang di luar nalar atau berhubungan dengan hal supranatural.”
“Cih! Pembual!” umpat
Isamu.
Tsuneo dan Yuka saling melirik.
“Yuka-chan…” Miki berbisik lirih, meski ia tahu yang ada di genggaman
Perserikatan Anti Sihir adalah shikigami,
tetap saja ia merasa gelisah apalagi keberadaan Yuka tak diketahui. Tubuh Miki
sekejap gemetar, air mata hampir menetes jika ia tak menahan. Ia membentak diri
sendiri, ia harus kuat dan yakin kalau Yuka baik-baik saja.
Setelah bayangan Isamu dan Miki tak
nampak lagi di luar gerbang kediaman keluarga Tsuneo yang super besar, Yuka
menoleh dan menundukkan kepala. “Tsuneo-kun,
terima kasih telah menjagaku selama beberapa hari ini. Tapi, aku tak bisa
berlama-lama di sini lagi.”
Tsuneo terkejut, tak menyangka Yuka
akan berterima kasih padahal menurutnya yang ia lakukan pada Yuka termasuk
kejahatan, bisa dikategorikan penculikan atau penyekapan. Tak ada raut di wajah
Yuka yang menunjukkan setitik pun rasa benci pada Tsuneo. Yuka tersenyum hangat
dan bersahabat seperti biasa, senyuman yang bisa meluluhkan hati dingin Tsuneo.
“Aku minta maaf karena telah berlaku seperti itu,” Tsuneo membungkukkan tubuh
tingginya.
“Tsuneo-kun, sekali lagi terima kasih. Aku permisi.”
“Kau baik-baik saja?”
Yuka berbalik dengan senyum masih
terpahat di wajah manisnya, “Sepertinya shikigamiku
baik-baik saja. Aku sudah bisa bergerak bebas. Jaa!” Yuka berjalan cepat, menatap langit sekilas dan awan putih
membentuk wajah Hiroyuki. Degup di hati Yuka terasa kencang, ia merindukan
Hiroyuki. Sedetik kemudian muka Yuka berubah serius, dia merancang rencana
untuk menyelamatkan shikigami serta
ibunya.
“Wahai udara yang menyelimuti kami,
wahai udara yang senantiasa hadir. Bawa serta diriku dalam lumatanmu,” tubuh
Yuka si udara melayang. Yuka melesat ke Akihiro Company.
●●●
Froshe
menggigit jempol kanan saat tiba di kediaman Hiroyuki dan tak mendapati
Hiroyuki di sana. Berkali-kali ia menelepon tapi HP Hiroyuki hanya membalas
dengan suara Veronica yang mengatakan kalau nomor Hiroyuki tak bisa dihubungi.
Dia dan Mai tadi sudah siap mendobrak, takut kalau Hiroyuki down dan melakukan hal-hal berbahaya
karena merindukan Yuka tapi ternyata Hiroyuki tak ada di kediamannya.
Hiroaki yang dihubungi Froshe pun
tidak punya petunjuk di mana kakaknya berada, bahkan mereka mencari sampai ke
Hiromi, tak seorang pun tahu keberadaan Hiroyuki saat ini. Froshe lalu
memunculkan ide untuk mencari Hiroyuki di Akihiro Company. Sebuah kecurigaan
mengerayangi benak Froshe apalagi setelah berita klarifikasi Perserikatan Anti
Sihir yang telah menangkap pemilik kekuatan suci. “Pasti, Hiroyuki ada di
Perserikatan Anti Sihir…” tukas Froshe yakin.
Froshe, Mai, dan Hiroaki melesat ke
Akihiro Company. Dengan kostum penyamaran, mereka menuju lantai 33 dan
mengamati diam-diam. Kali pertama Hiroaki mengetahui ada lantai 33 di perusahaan
ayahnya, dan tatkala ia melihat pin naga yang tersemat oleh orang-orang
berpakaian hitam, ia percaya seratus persen kalau ayahnyalah yang ada di balik
Perserikatan Anti Sihir. Niat menghancurkan perserikatan itu makin tumbuh dan
bersemi di hati Hiroaki. Dia teringat peristiwa penyerangan Kyoto dan Tokyo
oleh Perserikatan Anti Sihir yang membawa-bawa alasan kedamaian. Hiroaki tak
akan memaafkan orang-orang yang berlagak menjunjung tinggi kedamaian namun
melakukan tindakan anarkis. Terlebih, karena melibatkan Hiroyuki, Yuka, dan
keluarga Kuraki. Pertanyaan lalu muncul, mengapa kekuatan suci itu ingin
dihancurkan padahal sejauh ia mengenal Yuka, ia tak pernah merasa Yuka
berbahaya? Dia percaya, Yuka adalah gadis yang tak punya ambisi menguasai dunia
–kecuali dunia Hiroyuki-. Ia terus memutar otak mencari jawaban yang tepat.
“Apa tujuan sebenarnya perserikatan ini?
Aku tak percaya mereka ingin menghancurkan kekuatan Yuka. Jika kekuatan itu
bisa mengacaukan dunia, bukankah berarti… jika mereka memegang si pengacau,
maka si pengacau bisa digunakan untuk menundukkan masyarakat dunia agar dunia
tidak kacau?” Hiroaki meracau, menyuarakan pemikiran. Froshe dan Mai yang masih
sibuk mengamati menoleh, setelah berpikir masak-masak mereka setuju dengan
hipotesis Hiroaki.
“Rasanya aku ingin menonjok Emi dan
ayah,” Hiroaki berseloroh dan tanpa sadar ia keluar dari persembunyian.
Siiiiing.
“Siapa Anda?” Miwa
memandang Hiroaki dari atas ke bawah, mengamati jubah hitam Hiroaki yang tak
memiliki pin naga. Seketika Miwa waspada, “Kau penyusup!” sebelum Miwa membuka
mulut untuk memanggil penjaga, Mai menotok hingga Miwa jatuh pingsan. “Kau
seharusnya hati-hati, jangan keluar dari persembunyian karena kita belum hafal
situasinya.” Mai mengingatkan Hiroaki sembari memapah Miwa ke tempat sembunyi
mereka. Froshe dan Mai lantas mengamati Miwa, di dada kiri Miwa tersemat pin
naga. “Takaya Miwa, si peramal. Sejak kapan dia masuk perserikatan ini?” decak
Froshe.
“Kurasa dia menggantikan Takaya-san, ibunya yang sebelum ini juga
bekerja di perserikatan, maksudku… diperalat oleh perserikatan,” sambung Mai.
“Mereka bilang anti sihir tapi
percaya peramal?” Froshe merasa bingung. Dia menganggap nonsense perserikatan yang berkoar anti dengan sihir tapi meyakini
ucapan peramal yang juga punya kekuatan supranatural, bertentangan dengan nama
perserikatan.
“Maksud kalian… orang ini peramal?”
Hiroaki berusaha mengambil kesimpulan dari percakapan Froshe dan Mai. Dua
detektif polisi itu mengangguk senada. “Pin ini mencurigakan,” Hiroaki bergerak
melepas pin naga yang tersemat di jubah hitam Miwa namun pin itu tak terlepas.
Ia mencoba lagi, tetap tak bergerak sedikit pun.
“Mungkin ini alat pengontrol… sekaligus
bom waktu,” ujar Froshe.
Hiroaki lantas membuka jubah hitam
Miwa tapi lekas-lekas menutup kembali. “Dia tak memakai apa pun selain jubah
ini,” wajahnya memerah dan ia melempar pandang ke arah lain. Hiroaki lalu
membungkukkan badan, “Maaf. Aku tak sengaja melihat.”
Froshe menjentikkan jari, “Kau
benar! Kalau pin itu tak bisa dilepas, kita bisa melepas jubahnya, kan? Kau
cerdas Hiroaki!”
“Ehm… tapi, kalau mau melepas
jubahnya, kita harus ada pakaian lain terlebih dahulu untuk dikenakan,” sambung
Hiroaki.
Mai melirik Froshe, memerintahkannya
melepas kemeja di balik jubah hitam yang dikenakan oleh Froshe. Tanpa protes,
Froshe membuka kemeja dan menyerahkan pada Mai. Dengan muka berpaling, Froshe
dan Hiroaki menunggu Mai memakaikan kemeja pada Miwa. Setelah beberapa menit,
jubah itu dilempar Mai ke lantai dan kesadaran Miwa kembali. Ia tampak terkejut
melihat orang asing di sekitarnya apalagi ia memakai kemeja saja meski kemeja
itu bisa menutup hingga menyentuh lutut.
Sreeeek.
Hiroaki merobek jubah
Miwa, memberi bagian yang tak disematkan pin untuk dikenakan Miwa sebagai
bawahan. Miwa menutup bagian bawah tubuh dengan jubah hitam tanpa pin itu.
Froshe meraih bagian jubah yang memiliki pin, berniat memberikan pin itu pada
divisi penyelidik segera setelah mereka keluar dari perserikatan ini.
“Kau masih ingat kami?” tanya Mai.
Miwa dengan kikuk menjawab, “Y-ya, kalian pasangan polisi yang mengintrogasi
setelah kejadian penyerangan di taman hiburan.”
“Mengapa kau di sini? Apa mereka
memperalatmu untuk menggantikan ibumu?” Froshe mulai mengintrogasi. Miwa
mengangguk, “Aku seperti terhipnotis, saat sadar aku sudah di sini dan
ditugaskan mencari kekuatan suci dan membaca gulungan.”
“Apa kau tahu… bagaimana cara masuk
ke ruang khusus?” Froshe kembali melontar tanya.
Miwa tertegun sebentar, “Yang bisa
masuk hanya Tuan Akihiro dan Emi-san.
Menggunakan retina mereka, ada sensor pengenal retina di dekat pintu masuk
ruang khusus.” Froshe menerima jawaban Miwa, lantas teringat Tsuneo yang keluar
dari ruang khusus. Kenapa Tsuneo bisa keluar padahal tak bersama Tuan Akihiro
atau Emi?. Dari penjelasan Miwa, hanya ada dua orang yang bisa keluar masuk
ruang itu. Jadi, bagaimana dengan Tsuneo?
“Selain Yuka, apa ada lagi orang
selain anggota perserikatan di bawa ke sini?” kini Hiroaki yang melempar
pertanyaan. Miwa mengingat-ingat, “Ah! Hiroyuki-san! Aku bertemu dengannya saat menemani Emi-san ke penjara bawah tanah.”
“Penjara bawah tanah?” Hiroaki
membelalakkan mata. Ia tak pernah mendengar ada penjara bawah tanah di Akihiro
Company. Dia menemukan banyak sekali kejutan dalam beberapa jam ini.
Froshe menyela, “Apakah Tsuneo
adalah anggota perserikatan?”
Miwa mengangguk kecil.
“Di mana penjaranya?” Mai menimpal.
Miwa berbisik, “Di luar gedung ini ada pintu dengan tulisan KEEP OUT, di balik
pintu itu ada tangga menuju penjara bawah tanah.”
“Ayo ke sana dan selamatkan kakak,”
mata Hiroaki bersinar bak kunang-kunang, bergegas mereka semua menuju lantai
pertama dengan mengikutsertakan Miwa.
●●●
Tuan
Akihiro menyesap kopi sambil melirik Emi, “Bagaimana persiapan ritualnya?” tanyanya.
Emi tersenyum penuh kemenangan, “Sesuai petunjuk dari catatan Takaya-san, ritual akan dilakukan malam ini
dengan mantra yang tertulis di gulungan tersebut.”
“Miwa-san yang akan melakukan ritual?”
“Ya Tuan, karena pelaku ritual harus
peramal terbaik, darah keluarga Takaya.”
“Bagaimana dengan Hiroyuki?”
“Tenang saja Tuan. Hiroyuki-sama tak akan bisa mengganggu acara
penting kita.”
Tuan Akihiro mengangguk-angguk lalu
meminum lagi kopi hitamnya.