[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XIII
Keterangan :
Judul : Pandemonium
Penulis : Ariestanabirah
Genre : Romansa, Spiritual, Fantasi.
Sinopsis:
Kuraki Yuka (18 tahun) adalah seorang gadis berkekuatan aneh, kekuatannya sering disebut dengan ‘kekuatan suci’. Untuk melindunginya, Tuan Kuraki –ayah Yuka- meminta Yuka pergi ke Tokyo dan hidup bersama Akihiro Hiroyuki (27 tahun), tunangan Yuka. Sialnya, Yuka memakai kekuatannya dan membuat sebuah shinigami (Yuka tiruan) sementara dirinya yang asli menjelma seperti hantu yang tidak bisa dilihat manusia!
CHAPTER XIII
“Yuka-chan…” panggil Hiroyuki saat ia
terbangun dan tak mendapati Yuka di pelukannya. Sejak beberapa malam yang lalu,
Hiroyuki setiap malam memaksa Yuka
untuk tidur di pelukannya, jika tidak maka Yuka diancam tak mendapat jatah
makan sepanjang hari. Mau tak mau, Yuka jatuh dalam perangkap Hiroyuki, sang Serigala.
Yuka hanya menyahut singkat sambil
meneruskan mencincang-cincang daging. Ia memutuskan untuk belajar memasak
karena ingin membuat makanan bagi Hiroyuki. Yuka sendiri merasa aneh mengapa
tiba-tiba ia ingin Hiroyuki memakan masakannya. Selama ini, Yuka tak pernah
memasak karena di rumah selalu tersedia beberapa pembantu yang menyiapkan
urusan makan.
Dengan kikuk, tangan kiri Yuka
menggunakan pisau. Daging yang ia cincang tampak aneh, potongannya tak
simetris. Jika Hiroyuki melihat ini, pria berwajah bersih tersebut pasti
mengejek.
Yuka sengaja tak membangunkan Hiroyuki
yang biasanya bangun pagi di hari libur ini, ia ingin mengejutkan Hiroyuki
dengan sarapan spesial. Mata Yuka terpaku pada buku resep milik Hiroyuki,
hati-hati Yuka mengulang membaca resep agar bisa menghidangkan makanan enak
beberapa saat lagi.
Tapi, rencana mengejutkan Hiroyuki
dengan sarapan di meja tatkala bangun gagal. Hiroyuki sudah berdiri dengan mata
segar melihat Yuka mengenakan apron yang biasa dikenakan Hiroyuki saat memasak.
Dengan jahil, Hiroyuki memeluk leher Yuka dari belakang. “Istriku memasak,”
serunya riang. Ini pertama kali Yuka mendengar Hiroyuki menyebutnya istri, rasanya aneh.
“Hiroyuki-han, tolong menjauh… aku geli,” Yuka merasa lidah Hiroyuki
menjilati leher belakangnya. Hiroyuki tak peduli dengan kata-kata Yuka, ia bergerak,
menggigit telinga Yuka sedikit, “Aku akan memakanmu, kau terlihat lebih lezat.”
Wajah Yuka memanas.
“Aku benar-benar akan mencincangmu…”
bentak Yuka sambil menancapkan pisau yang ada di tangan kiri ke talenan sekuat
tenaga. Hiroyuki bergidik dan mengambil jarak dengan Yuka.
Pelan-pelan ia tergelak, “Aku suka
reaksi malu-malumu! Menggemaskan,” Hiroyuki menyandarkan punggung ke dinding
dan melihat Yuka dari belakang. Yuka mengomel tak jelas dan meneruskan acara
masak. Meski kikuk karena diperhatikan Hiroyuki, Yuka tak peduli. Sensasi yang
diterima oleh telinga, leher, dan sekujur tubuh membuat keringat mengalir
banyak, Yuka menikmati sensasi itu diam-diam.
Yuka menatap nanar hasil masakannya,
daging cincang yang dicampur ke nasi lalu digoreng dengan minyak zaitun itu
agak hangus di bagian bawah karena api yang kebesaran dan ia tak menyadari saat
memasak. Hiroyuki yang baru selesai mandi menepuk kepala Yuka dan duduk di
hadapan istri kecilnya itu.
“Mari makan,” ajaknya. Tanpa banyak
komentar, Hiroyuki meraih makanan yang sudah disiapkan Yuka, menyumpitnya.
Glek.
Rasa pahit terasa di
lidah Hiroyuki. Hiroyuki melihat sejenak beberapa nasi yang bewarna kehitaman
di mangkuk kecil. Ia mengerti kalau Yuka berwajah murung karena gagal memasak. Hiroyuki
menahan komentar dan terus mengunyah, Yuka melihatnya dengan ekspresi
takut-takut.
“Ah, enak sekali. Aku boleh nambah?”
Hiroyuki menatap Yuka. Yuka tersentak, ia melirik masakannya yang dihabiskan Hiroyuki.
Tanpa menunggu, Hiroyuki mengambil jatah makan Yuka dan melahapnya habis, tanpa
sisa. Ekspresi Yuka berangsur membaik dan ia tersenyum, “…maaf, rasanya pasti
pahit.”
Hiroyuki meneguk minum untuk
meredakan rasa pahit yang masih bercokol di lidah. Dengan pandangan hangat ia
tersenyum, “Maaf, aku menghabiskan masakanmu. Masakanmu enak sih!” Hiroyuki tak
melepaskan senyuman hingga Yuka mengerucutkan bibir, “Terima kasih meski aku
tahu kau bohong.”
“Aku akan makan cereal, kau mau?” Yuka bangkit dari duduk, menuju kabinet dapur.
Hiroyuki menggeleng dan memegang perutnya yang kembung, “Masakanmu sudah
memenuhi diriku, selanjutnya… aku ingin kau memenuhiku,” goda Hiroyuki. Yuka
hanya menarik senyum simpul dan membuat sarapan untuk dirinya sendiri.
Selesai sarapan sederhana, Hiroyuki
membereskan meja makan lalu menyodorkan beberapa kertas kosong dan pena. Yuka,
dengan wajah bengong hanya menerima alat tulis itu.
“Mulai saat ini, aku ingin kau
menulis. Terserah apa pun, entah itu puisi… cerita… atau diari…” paparnya,
menjelaskan mengapa ada kertas kosong dan pena untuk Yuka. Yuka mengernyit,
lantas ia mengerti alasan Hiroyuki memintanya seperti itu. Hiroyuki sedang melatihnya
untuk mewujudkan mimpi, latihan menulis.
“Kau punya mimpi untuk diwujudkan. Mulailah
perjalananmu sekarang, aku akan menemanimu di perjalanan itu,” bisik Hiroyuki
lembut.
Yuka menggapit pena dengan dua jari
lalu tersenyum, “Mungkin saja aku tak punya bakat atau aku menyerah di tengah
jalan atau… aku tak pernah berhasil.”
Hiroyuki meletakkan tangan di bawah
dagu, memandang lurus Yuka yang wajahnya memerah karena dipandangi. “Saat kau
menyerah karena gagal dan takut mencoba, aku akan di sisimu untuk mengingatkan
hari kau mengikrarkan mimpi. Lalu, meyakinkanmu untuk meneruskannya. Seberapa
lama pun, seberapa banyak waktu pun untuk membuatnya nyata. Aku akan
mendukungmu, terus…”
Kata-kata Hiroyuki terasa begitu
halus hingga menembus hati terdalam Yuka. Yuka merengkuh semua kebaikan dalam
Hiroyuki ke sanubari. “Hiroyuki-han, aku
takut… jika aku tak bisa mencapai impian lalu aku akan menjadi orang tak
berguna atau orang yang diperbudak oleh lingkungan dan melakukan sesuatu yang normal, yang bukan aku…”
Hiroyuki sekali lagi tersenyum dan
membelai rambut Yuka, “Kau pasti bisa mencapai impian jika kau sungguh-sungguh
dan tak menyerah. Impian bukan sesuatu yang tak bisa menjadi nyata. Ia akan
nyata di tangan orang yang bekerja keras.”
Yuka mengangguk.
“Ah, buat surat cinta untukku setiap
hari ya, jika tidak… aku akan melakukan sesuatu yang lebih dari menjilat,” goda
Hiroyuki, mata kirinya berkedip genit. Yuka yang baru saja terlena karena
kata-kata manis Hiroyuki langsung merengut, “Kau menyebalkan!” desisnya.
●●●
Untuk
Hiroyuki-han
Kau
menyebalkan.
Salam,
Yuka.
Hiroyuki menutup surat yang diselipkan
Yuka di bawah bantal dengan wajah gemas lalu mencari sosok Yuka. Ini adalah
hari liburan musim panas bersama klub supranatural. Hiroyuki sedikit menyesal
karena menyetujui rencana Miki, dia sekarang berpikir bisa berduaan dengan Yuka
sepanjang liburan, hanya berdua. Ia bisa bebas memainkan Yuka, menggoda Yuka,
dan bermesraan dengan istri kecilnya itu. Dan semua rencana mendadak yang
mencuat di benaknya harus pupus karena janji liburan bersama Miki dkk. Hiroyuki
menarik napas kecewa.
Yuka keluar dari kamar mandi dengan
keadaan rambut yang basah, ia mengaku hair
dryer rusak sehingga tak bisa mengeringkan rambut. Melihat tetes air dari
rambut basah Yuka, Hiroyuki menarik Yuka duduk di dekatnya, mengambil handuk
lalu membenamkan handuk itu ke kepala Yuka. Hiroyuki membantu Yuka mengeringkan
rambut, menggesek-gesek handuk sambil memerhatikan leher Yuka yang bersih tanpa
rambut karena rambutnya sedang dibungkus handuk.
“Kau harum,” Hiroyuki mendekatkan
hidung ke leher Yuka dan mengendus leher pendek itu. Yuka merasa geli karena
hawa napas Hiroyuki menyentuh lembut kulit leher belakangnya yang sensitif.
“Jangan mengendus!” bentak Yuka.
Hiroyuki memindahkan hidung ke bagian Yuka yang lain, mengendus keharuman Yuka
yang baru selesai mandi. Yuka merasa risi, tapi dia membiarkan apa pun yang
sedang Hiroyuki lakukan. Tubuhnya menikmati napas dari hidung Hiroyuki tanpa
protes.
“Yap! Selesai pengeringan, aku akan
membuat sarapan.” Sebelum hasrat menariknya lebih jauh, Hiroyuki menghindari
godaan yang dikeluarkan oleh pesona Yuka dan menuju dapur. Ia mengeluarkan
beberapa helai roti dan mentega. Dengan wajah menahan malu, ia berbisik. Sampai berapa lama aku harus menahan diri
pada Yuka?.
●●●
Miwa
memandang pilu pada nisan Takaya Haruno. Baru saja ia meletakkan seikat mawar
putih di sana, bunga kesukaan ibunya. Sudah beberapa hari sejak kematian
ibunya, Miwa masih mengunjungi makamnya, setiap hari.
“Nona Takaya-san.”
Miwa menoleh, seorang wanita berperawakan
seperti seorang model berjalan, menancapkan dupa ke makam ibunya. Miwa tak
mengenal wanita itu tapi ia menundukkan wajah sembari berterima kasih.
“Takaya-san, saya Morishige Emi.” Emi menyodorkan sebuah kartu nama pada
Miwa. Miwa menerima dan membacanya sekilas. Emi lantas menyunggingkan senyum
menawan yang membuat wajahnya tampak lebih menarik, “Saya datang untuk
menyampaikan pesan dari Nyonya Takaya-san.”
Mata Miwa memandang lurus Emi,
bertanya-tanya pesan apa yang ingin disampaikan oleh ibunya untuknya setelah
tiga tahun tak bertemu. Setelah ibunya menghilang tiba-tiba dan kembali dalam
keadaan berkeping-keping.
Miwa menahan napas.
“Bisakah Anda ikut saya ke suatu
tempat? Saya akan menunjukkan apa yang ibu Anda perbuat selama tiga tahun ini
dan alasan mengapa tragedi naas ini terjadi pada ibu Anda.” Emi berbicara
tenang dan menunjuk ke sebuah mobil yang menunggu tak jauh dari pemakaman. Miwa
tampak waspada dan takut-takut, “Boleh lain kali saja?” tanyanya.
Emi mempertahankan senyum di bibir,
“Maaf, harus sekarang.”
“Ta-tapi…”
“Takaya-san…” Emi menatap dalam bola mata Miwa. “Ikuti saya,” perintah Emi.
Rasa takut merayapi Miwa, saat ia
hendak melarikan diri beberapa laki-laki bertubuh lebih besar darinya datang,
lalu tak terdengar perlawanan apa pun karena Miwa tak bisa bergerak. Ia
digiring ke dalam mobil. Meski sadar, Miwa yang mulutnya disumpal dan tangannya
diikat hanya diam ketakutan bahkan tak berani untuk melihat ke luar jendela
mobil.
“Tuan, Takaya Miwa sudah ada dalam
genggaman,” lapor Emi pada seseorang di telepon genggam.
Emi melirik Miwa dengan wajah
serius, “Baik. Saya akan langsung membawa Miwa ke markas.”
Selesai berbicara lewat telepon
genggam, Emi menepuk bahu Miwa dan meminta Miwa tidak takut padanya. “Kamu
hanya akan mengerjakan bagian ibumu, menemukan… si kekuatan suci,” bisiknya
tegas.
“Ah, jika saja ibumu tidak berkhianat
dan memasang pin itu, dia tak akan mati konyol.”
Miwa mendengus marah, kata-kata
‘mati konyol’ yang diperuntukkan untuk ibunya membuat hatinya perih. Ia ingin
berteriak, ‘tahu apa kau soal mati konyol? Mana ada mati konyol!’ tapi ia tak
bisa meneriakkannya dan mengganti dengan air mata.
Komentar
Posting Komentar