[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XVII
Tiba-tiba
Hiroyuki membeli penyekat dan memasang di tengah futon miliknya dan Yuka. “Mulai saat ini, kita akan menjalani
pernikahan platonis. Tak boleh ada sentuhan fisik apa pun.” Hiroyuki berorasi
meski sebenarnya ia pahit mengatakan hal itu. Yuka memandang Hiroyuki dengan
wajah tak terima tapi Hiroyuki yang lebih tak menerima peraturannya sendiri
berpura-pura tak tahu dengan ketidakpuasan Yuka.
“Kau harus fokus untuk masa depan.
Libur musim panas akan segera berakhir, ujian demi ujian akan datang. Dan kau,
belum menyelesaikan satu naskah novel pun selama libur musim panas. Jadi… aku
harap pertengahan Agustus naskah pertamamu selesai!” Hiroyuki menatap Yuka
dengan pandangan mengancam.
Yuka bergidik, meraih kertas dan menulis
lagi. “Kau bisa menggunakan laptopku,” Hiroyuki mengambil laptop dan
meletakkannya di samping Yuka.
“Aku punya permintaaan,” Yuka mengacungkan
tangan.
Hiroyuki menunggu perkataan Yuka
dengan was-was.
“Jika naskah pertamaku selesai, aku
ingin… kencan…”
Hiroyuki mengembus napas kecewa, diam-diam
berharap Yuka meminta sesuatu yang bersifat intim seperti ciuman, bukan kencan.
Hiroyuki menampik pikiran kotornya, tersenyum semanis mungkin pada Yuka,
“Tentu.”
“Kita berkencan dan melakukan otsukimi[1]
di pertengahan Agustus?”
“Memandang bulan?” Hiroyuki bingung.
“Ya, jika kita memandang bulan di
pertengahan Agustus maka kita akan bersama selamanya…” Yuka menyembunyikan
wajah yang memerah. Hiroyuki hampir saja memeluk Yuka dan mengusap-usap
kepalanya karena maksud ‘kencan’ Yuka yang di luar ekspetasinya. Yuka ingin bersama selamanya.
Hiroyuki menahan tangannya, berdiri lalu
menuju dapur, membuatkan cemilan untuk Yuka. Ia memerhatikan Yuka yang mulai tenggelam
dalam dunia imajinasi, di mode ini Yuka tak bisa diganggu gugat.
Hiroyuki menunggu Yuka sampai
selesai dalam damai, ia menyimpan baik-baik tiap sudut Yuka di benak seraya
mengulang-ulang pengakuan, aku
mencintaimu Yuka, sejak pertama bertemu… sebelas tahun yang lalu.
●●●
“Naskahnya…
selesai,” Gadis berkulit halus itu menghela tak percaya. Hiroyuki yang baru
saja selesai membuat kue dango berjalan menghampiri Yuka, mengintip tulisan di word monitor laptop. Mata Yuka masih
tertuju pada lautan huruf yang disimpan dalam file berjudul Draft_1. Setelah menulis selama 10 jam per hari,
meski kadang diinterupsi dengan hal lain- selama beberapa minggu terakhir,
naskah pertama Yuka kelar.
“Selamat! Kita bisa kencan malam
ini,” Hiroyuki hendak menepuk kepala Yuka tapi gerakannya berhenti karena ingat
dengan hubungan platonis yang ia canangkan. Dengan perasaan yang disembunyikan,
Hiroyuki meraih laptop dan menatap tulisan yang terpajang. “Boleh kubaca?”
tanyanya.
“Tak boleh!” Yuka buru-buru menutup file. Dengan wajah bewarna tomat dia
menggeleng-geleng. Hiroyuki jadi curiga karena sikap Yuka barusan. Apa yang sebenarnya dia tulis di naskahnya?.
Sialnya, Yuka menyimpan file itu di flashdisk sehingga Hiroyuki tak bisa
membuka diam-diam dan membacanya.
“Lalu, mau langsung dikirim ke
penerbit?”
“Eh?” Mata Yuka terbelalak, ia
merasa mengirim ke penerbit terlalu cepat untuk pemula sepertinya. Dia takut.
Hiroyuki tahu tantangan utama para
penulis pemula adalah menumbuhkan rasa berani untuk menunjukkan karya, terutama
ke orang-orang yang berkecimpung langsung di dunia tulis-menulis dalam hal ini
adalah editor penerbit.
“Yuka-chan, keberanian itu ditumbuhkan… saat ini kau adalah calon penulis
jika kau tak menumbuhkan keberanian untuk mewujudkan mimpi dan menapaki satu
per satu langkah menuju impianmu, kau hanya akan jadi pemimpi.”
“Tapi…”
“Memang, pertama kali itu pasti ada
salah atau kekeliruan. Meski begitu, orang lainlah terutama professional yang
bisa melakukan penilaian terhadap kerja kerasmu.” Hiroyuki merasa dirinya
sekarang seperti guru –dia memang guru tapi belakangan dia menganggap dirinya
dan Yuka sebagai laki-laki dan perempuan normal tanpa ada status guru dan
murid-. Yuka tertegun, mencerna nasehat Hiroyuki padanya.
“Hiroyuki-han… terima kasih atas dukungannya.” Yuka mengulas senyum.
Deg.
Hiroyuki memalingkan mata, memarahi
degup jantung yang tiba-tiba jadi cepat gara-gara wajah senyum Yuka.
Tok!
tok!
Sepersekian detik
Hiroyuki bersyukur karena ada yang mengetuk pintu, jika tidak maka tangannya
akan menarik Yuka untuk dipeluk. Pria berkaos putih itu sontak berdiri, saat
hendak membuka pintu ia bertanya-tanya siapa yang mengganggu masa-masa berduanya
dengan Yuka. Jika itu Froshe, dia tak mau membuka pintu.
“Kakak.”
Hiroyuki mematung melihat pemuda
yang lebih tinggi darinya berdiri. Pemuda cenderung kurus itu tersenyum dan
langsung menerobos masuk. “Aki…” Hiroyuki memanggil pemuda yang sudah bertemu
pandang dengan Yuka. Yuka mengamati, lalu dia berseru. “Akihiro Hiroaki-han?”
“Kuraki Yuka-san? Mengapa kamu di sini?” Hiroaki tak kalah terkejutnya melihat
ada seorang perempuan di apartemen Hiroyuki. Perlahan Hiroaki mendengus dan
melirik penuh curiga pada Hiroyuki, “Kakak… sejatuh apa moral kakak
sampai-sampai kakak hidup bersama seorang anak kecil!”
“Aku bukan anak kecil!” protes Yuka,
“…18 tahun bukan anak kecil,” sambungnya.
“Jadi, gosip kalau Kakak adalah lolicon itu benar? Selama ini aku
mengira itu hanya gosip. Aku benar-benar yakin kalau Kakak bukan lolicon seperti kata Kak Froshe… tapi, Kakak
sudah menghancurkan imej Kakak di mataku!” Hiroaki tampak histeris.
Hiroyuki menghela napas mendengar nama
Froshe diluncurkan oleh mulut Hiroaki. Benar-benar, Hiroyuki ingin sekali
mencincang Froshe yang sudah menyuapi adiknya dengan pernyataan ‘Hiroyuki
adalah lolicon’ meski itu memang
kenyataan.
“Aki! Tenang dulu. Aku akan
jelaskan,” Hiroyuki menarik Yuka berdiri di sampingnya. “Nama gadis ini
sekarang adalah Akihiro Yuka. Kami sudah menikah maret lalu,” Hiroyuki lantas
menunjukkan sertifikat pernikahan yang membuat Hiroaki kehilangan kata-kata.
Hiroaki menatap sendu pada Hiroyuki. “Kak,
kau bahkan tak memberitahu kalau menikah… apa aku sudah tak dianggap adik sejak
kau memutuskan hubungan dengan ayah?”
Yuka terdiam, ia tak tahu soal
‘memutuskan hubungan dengan ayah’. Dia memang aneh karena Hiroyuki tak pernah
bercerita soal keluarga apalagi memertemukan Yuka dengan keluarganya padahal
mereka menikah. Hiroyuki juga tak menghadiri pertemuan rutin di Kyoto sejak
enam tahun lalu padahal Hiroaki selalu ada. Yuka mengenal Hiroaki dari
pertemuan itu meski hanya sekadar tahu nama dan wajah saja dan ia tak pernah
mengenal Hiroyuki.
“Maaf.”
Hiroaki tampak tak puas dengan
permintaan maaf Hiroyuki. Dia terduduk dan mencomot kue dango di meja. Tanpa
rasa sungkan remaja berkulit agak gelap karena terbakar terik musim panas
menghidupkan televisi seperti di rumahnya sendiri padahal beberapa detik yang
lalu suasana agak tidak nyaman. Yuka lalu menyajikan teh hijau sembari menonton
apa yang ditonton oleh Hiroaki, anime.
“Aki, kenapa kau bisa ada di Tokyo?”
Hiroyuki duduk di antara Hiroaki dan Yuka, melontar pertanyaan.
“Aku akan start menjadi editor.”
“Perusahaan?”
“Hiromi yang handle.”
Sekali lagi, Yuka merasa out of place. Dia menebak kalau Hiroyuki
dan Hiroaki tengah membincangkan persoalan keluarga. Mendadak Yuka merasa
statusnya sebagai istri Hiroyuki tak berarti, dia tak termasuk dalam keluarga
Akihiro karena dia tak tahu apa pun.
“Aku tak mengerti. Hiroyuki-han, kenapa kau tak pernah berbicara
soal keluargamu? Aku seperti orang bodoh karena percakapan kalian. Aku tak tahu
apa-apa.” Yuka mengungkapkan kekesalan hingga Hiroyuki dan Hiroaki berhenti
berbicara.
Hiroyuki memberi senyum lembut dan
berusaha menjelaskan. Dia memang tahu kalau dirinya bersalah tak pernah
memberitahu Yuka soal urusan keluarga padahal Yuka sudah diikat sebagai bagian
keluarganya.
“Aku punya dua adik. Hiroaki dan Hiromi.
Enam tahun lalu, ayah memintaku menjadi penerusnya memimpin perusahaan tapi aku
tak mau karena aku ingin jadi guru. Akhirnya, kami bertengkar dan aku memutus
hubungan lalu pindah ke Tokyo. Semenjak itu, kami tak pernah kontak lagi dan hidup
sendirian,” beber Hiroyuki.
“Karena Kakak tak mau, aku yang
dipinta menjadi penerus. Sayangnya, aku punya passion sebagai editor jadi aku kabur dan berencana tinggal bersama
Kakak. Mulai besok aku akan bekerja di penerbit X,” tambah Hiroaki.
Hiroyuki terperanjat. “Tinggal
bersamaku? Kenapa tak beri kabar dulu!”
Hiroaki mendelik kesal, “Kakak
sendiri tidak memberi kabar kalau menikah.”
Dua kakak beradik itu saling
melempar listrik lewat tatapan mata. Yuka mengabaikan dua orang itu. “Kau tak
bisa tinggal di sini. Aku tak punya kamar untukmu,” putus Hiroyuki dengan
tatapan mengusir.
Hiroaki mengamati apartemen sempit
yang disewa kakaknya. “Setidaknya sampai aku mendapat gaji pertama aku akan di
sini. Setelah itu aku akan pindah. Lihat, ada penyekat dan dua futon, aku dan kalian akan tidur di futon terpisah dan disekat.” Hiroaki
seenaknya memutuskan. Dia membentangkan futon
dan meletakkan penyekat di antara dua futon.
“Nah, kalian bisa lovey dovey di
sini sementara aku akan tidur di sisi sana.
Tenang… aku mengerti dengan aktivitas malam kalian. Aku tak akan mengganggu.
Aku akan pakai headphone.”
Wajah Hiroyuki dan Yuka merona
serentak. Perjanjian mereka untuk hubungan platonis mendadak dihancurkan dalam
sekali sentuh oleh Hiroaki, yang tak pernah terbayangkan akan datang entah
berperan sebagai iblis atau malaikat.
“Hiroaki-han, kau bilang tadi kau editor di penerbit?” Yuka tiba-tiba
teringat sesuatu. Hiroaki menoleh.
“Ma-maukah membaca naskahku?” tanya
Yuka takut-takut.
“Kau menulis?”
Yuka menganggut.
“Baik, tapi aku sedikit kejam kalau
mengkritik tulisan,” seringai Hiroaki, memamerkan lesung pipi yang langsung
mendapat delikan dari Hiroyuki. Yuka tersenyum, “Mohon bantuannya.”
●●●
Yuka
berdiri dengan dress selutut yang
cantik, rambut memanjangnya dibiarkan tergerai. Polesan bedak tampak menyatu
dengan kulit putih. Hiroyuki yang menatapnya bergegas mengalihkan pandangan,
takut tergoda. Sesuai perjanjian, malam ini mereka akan kencan sambil melakukan
otsukimi. Hiroaki mengamati kakak dan
kakak iparnya dengan pandangan iri, “Cepat pergi. Nanti aku ganggu kencan kalian
kalau tidak beranjak juga.”
Hiroyuki dan Yuka berjalan kikuk
menuju pintu luar apartemen.
Baaam!
Pintu tertutup dan
dikunci oleh Hiroaki dari dalam.