[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XVI
CHAPTER XVI
Malam
di awal Agustus itu berlangsung dengan bau harum dari panggangan barbeque yang menyeruak ke udara malam.
Froshe, Mai, dan Hiroyuki menduduki posisi chef,
bertugas menyediakan masakan sementara Isamu dan Tsuneo bagian kembang api.
Mereka mengeluarkan kembang api jenis sparklers[1],
shells[2],
dan rockets[3]
dari kantong plastik. Miki dan Yuka jadi penata tempat dan menyiapkan
piring/gelas/dan perlengkapan lain.
Setelah selesai dengan persiapan,
satu per satu dari mereka mencomot barbeque
lalu duduk di pasir menghadap pantai.
Sreek.
Yuka menoleh dan
mendapati Tsuneo tengah duduk di samping kanannya. Melihat Tsuneo, Yuka
mendadak teringat pengakuan Tsuneo tadi sore. Yuka sudah berterima kasih atas
perasaan Tsuneo padanya, meski Tsuneo sepertinya menganggap ‘terima kasih’ dari
Yuka bukan sebagai penolakan. Hiroyuki diam-diam memerhatikan Tsuneo dan Yuka
yang sangat jarang dalam satu frame yang
sama dengan perasaan waswas. Apalagi mata Tsuneo tampak lembut dan hangat,
sangat berbeda dari Tsuneo yang biasa.
Dengan sengaja Hiroyuki mengambil
duduk di samping kiri Yuka, mengawasi Tsuneo untuk tidak melakukan pendekatan
apa pun pada Yuka. Tanpa terduga, Tsuneo berdiri lalu berlutut di depan
Hiroyuki.
Jeda beberapa detik, suara bergetar
Tsuneo terdengar.
“Hi-Hiroyuki-sensei, aku menyukai Yuka jadi, izinkan aku mengencani Yuka!”
Suara Tsuneo di tengah keheningan
sontak membuat Froshe, Mai, Isamu, dan Miki menoleh. Mereka semua terperangah
karena tak ada satu pun yang berspekulasi tentang Tsuneo ke Yuka. Tsuneo dan
Yuka sama sekali tak tampak akrab/dekat bahkan tidak untuk saling menyapa.
Tapi, cinta memang kadang seperti itu. Tidak datang karena kedekatan, tapi
datang dengan tiba-tiba. Diam-diam.
Hiroyuki langsung tersedak, Yuka
memberinya air untuk menenangkan diri. Hiroyuki dengan wajah kesal melirik
Tsuneo dan Yuka, hatinya seperti diaduk-aduk. Dengan tenang, Hiroyuki memandang
Tsuneo yang menatapnya tegas. Tsuneo sepertinya memang bersungguh-sungguh pada
Yuka.
“Ka-kau menyukai Yuka?” tanya Hiroyuki
meski Tsuneo tadi sudah memberitahunya. Tsuneo, dengan wajah merona mengulangi
pengakuan terhadap Yuka. Diam-diam Hiroyuki menyentuh tangan kiri Yuka. Yuka
merasakan takut di dalam sentuhan Hiroyuki.
Yuka menatap Hiroyuki dan Tsuneo
bergantian, ia ingin mengatakan perasaannya kalau ia menyukai Hiroyuki, tapi ia
tak bisa melakukannya. Bibirnya terkunci, keberanian untuk meneriakkan kata
suka pada Hiroyuki lenyap seperti buih ditelan pantai.
“I-itu… terserah Yuka, tak ada
hubungannya denganku.” Hiroyuki menelan pahit air ludah. Ia melepas sentuhan
tangannya dari Yuka lalu tersenyum dan menoleh, menyerahkan semua keputusan
pada Yuka.
Yuka melengos dari Hiroyuki.
Kata-kata tak ada hubungannya denganku yang
baru saja diucapkan secara spontan oleh Hiroyuki membuat Yuka kesal. Dia
berpikir kalau Hiroyuki tak bersungguh-sungguh menyukainya karena tak mengikrarkan
kemarahan, emosi atau keegoisan kalau Yuka adalah miliknya padahal selama ini
Hiroyuki tampak tak bisa melepaskan Yuka. Yuka menggenggam tangannya erat.
“Kita bisa berkencan, aku tak pernah
berkencan.” Yuka menjawab tegas dengan senyum mengembang dari wajah manisnya.
Tsuneo tampak terkejut, “Be-benarkah?”
“Iya.”
Hiroyuki bagai terkena tusukan panah
berjuta-juta di seluruh tubuh mendengar kata-kata Yuka. Froshe dan Mai yang
mengerti situasi hanya bisa saling pandang, “Salah sendiri kenapa bilang tak ada hubungannya denganku. Pasti itu
yang membuat Yuka-chan marah dan
menerima ajakan kencan Tsuneo-kun,” bisik
Froshe.
Mai mengangguk cepat dan meneruskan
memakan daging panggang, “Bagaimana ya cara Hiroyuki melawan muridnya sendiri?
Yang jauh lebih muda, modern, dan sepertinya… bakal lebih romantis.”
“Cinta di antara anak muda kan lebih
menggebu-gebu,” imbuh Froshe lagi.
Mai setuju dengan pendapat Froshe.
Froshe mengambil daging panggang
dari piring Mai sembari berseloroh, “Siapa tahu Yuka-chan malah jatuh hati pada Tsuneo-kun. Hiroyuki pernah bilang kalau Yuka-chan itu tak pernah bilang suka… jangan-jangan Yuka-chan hanya terpaksa menikah dengan
Hiroyuki karena pertunangan mereka?”
“Bisa jadi seperti itu. Anak muda
seperti Yuka sepertinya belum pernah jatuh cinta, kita harus bersiap untuk
menegarkan Hiroyuki kalau suatu hari nanti Yuka-chan memutuskan hubungan dengan Hiroyuki karena jatuh hati pada
orang lain. Ah.”
Froshe dan Mai, untuk sekian kalinya
berdiskusi seperti dua orang tua yang mengamati hubungan Hiroyuki dan Yuka yang
kini memasuki fase cinta segitiga.
“Oke, mari kita hidupkan kembang
api!” Froshe memecah suasana canggung dan meraih kembang api yang disiapkan
Isamu dan Tsuneo. Miki dan Isamu lekas-lekas menghidupkan kembang api rockets yang meluncur ke udara kemudian…
BOOOM!
Meledak dengan suara
ribut. Froshe dan Mai mengambil kembang api shells,
melemparkannya ke udara dan meledak, membentuk pola seperti air terjun yang
memancar ke seluruh penjuru. Mereka semua tertawa seperti anak kecil kecuali
Hiroyuki dan Yuka yang memilih diam.
“Yuka-chan,” Tsuneo menyodorkan kembang api sparklers pada Yuka. Yuka mengambil dan menghidupkan kembang api
itu. Pancaran cahaya di ujung tongkat sparklers
Yuka lantas bertabrakan dengan cahaya milik sparklers Tsuneo. Hiroyuki melihat nanar Tsuneo dan Yuka. Dalam
hati, ada kembang api tersulut dan membakar kesabaran namun secepat mungkin ia
memadamkan kecemburuan di hati dengan ucapan, ‘aku bukan lolicon’
●●●
Hiroyuki
melempar bantal sekuat tenaga ke dinding, berkali-kali. Meski begitu, rasa aneh
yang menjalari dirinya tak kunjung sirna. Bayangan Yuka dan Tsuneo, serta
berbagai spekulasi yang akan terjadi di antara dua orang itu memenuhi kepala
Hiroyuki. Dia kehilangan kendali diri, napasnya terdengar kasar. Saat ini
keinginannya mengunci Yuka dan tak memerlihatkannya ke dunia luar mengisi penuh
benak. “Brengsek!” dia terus merutuk hingga suara ketukan terdengar. Dengan
segan Hiroyuki membuka pintu, wajah Yuka dan Froshe muncul.
“Kau lupa membawa tuan putrimu, kau
mau gadis kesayanganmu ini bermalam denganku?” Froshe berujar sembari mendorong
Yuka masuk, meletakkan tas Yuka ke dalam kamar Hiroyuki.
“Tugasku selesai. Selamat malam
untuk kalian berdua,” Froshe mengambil kunci yang terselip di lubang pintu,
menutup pintu lalu menguncinya dari luar.
Kedua kalinya mereka dikurung oleh
Froshe.
Hiroyuki beranjak dari tempat
berdiri, memungut bantal yang terlempar ke sana kemari. Tanpa menoleh pada Yuka
dia berkata, “Tidurlah. Aku akan tidur di kamar mandi,” terdengar dingin dan
Yuka merasa beku karenanya.
“Hi-Hiroyuki-han…”
Tanpa menjawab panggilan Yuka,
Hiroyuki masuk ke kamar mandi, membanting pintu kuat hingga berdentam. Yuka memandang
pintu kamar mandi dengan perasaan sakit, dia memanggil Hiroyuki lagi tapi
Hiroyuki tak menyahut.
Lampu dimatikan, Yuka masih
diam-diam memerhatikan pintu kamar mandi dari balik selimut, berharap Hiroyuki
keluar dan tidur di sampingnya atau di sofa, ia ingin Hiroyuki nakal seperti biasa. Efek suara dingin
Hiroyuki padanya benar-benar membuat Yuka kalut, bahkan untuk memejamkan mata
pun tak nyaman.
Gadis berpiyama abu-abu itu lantas
meraih tas, mengeluarkan buku notes pemberian Hiroyuki agar Yuka bisa menulis
di mana saja. Yuka mencurahkan apa yang ia rasakan untuk surat wajibnya pada
Hiroyuki.
Untuk
Hiroyuki-han
Maaf.
Aku kesal karena kau mengatakan ‘tak
ada hubungannya denganku’
Salam,
Yuka.
Yuka melipat surat itu dan
membekapnya dalam pelukan. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ia tulis tapi
untuk saat ini, ia tak mau Hiroyuki mengetahui lebih dari apa yang ditulis di
surat.
Satu jam berlalu tanpa Yuka bisa
memejamkan mata. Hatinya masih tak terima dengan kata-kata Hiroyuki, baik
kepada Tsuneo atau padanya tadi. Dengan kesal, Yuka berdiri di depan pintu
kamar mandi.
“Wahai angin yang berhembus lembut. Wahai
angin yang mengelilingi semesta ini. Tiupkan sedikit napas pada pintu yang
tertutup!” Yuka melayangkan kekuatan pada pintu kamar mandi. Sekejap saja, pintu
itu terlepas. Hiroyuki yang mendengar keributan langsung terhenyak melihat
pintu lepas, otak matematikanya langsung mengalkulasi biaya perbaikan yang
pasti dibebankan oleh pihak pengolah penginapan padanya.
“A-apa yang kau perbuat?” Hiroyuki
menjerit karena gajinya bakal habis mengganti kerugian. Yuka tak menjawab, dia
menghambur ke arah Hiroyuki, menarik Hiroyuki keluar kamar mandi, dan
menjatuhkannya ke tempat tidur.
Belum sempat Hiroyuki menguasai rasa
kaget, Yuka duduk di perutnya dengan wajah ingin menangis. “Aku kesal padamu!”
dia memukul-mukul Hiroyuki, “Aku kesal!” ulangnya.
Hiroyuki menahan pukulan ringan
Yuka, meski tak sakit tapi jika Yuka menggunakan kekuatannya, tulang-tulang
Hiroyuki bisa buyar seperti pintu kamar mandi. Lebih baik mencegah sebelum
menyesal.
“Apa yang kau kesalkan?” Hiroyuki
menatap Yuka dengan tatapan kelam. Yuka mendengus, “Karena kau bilang aku tak
ada hubungan denganmu.”
Hiroyuki teringat kalimat itu dan
tersenyum kecut, “Jadi, kau ingin aku menjawab apa? Hubunganmu dan orang lain
memang bukan…”
Bagian bawah mata Yuka mulai berair tapi
sekuat tenaga ia menahan agar tidak jatuh. Hiroyuki jadi tak enak hati melihat
penampilan Yuka yang seperti itu. Ia melepas tangannya yang menahan tangan
mungil Yuka, membiarkan gadis itu kembali memukul meski Yuka tak punya niat
lagi memukul Hiroyuki.
Gyut.
Yuka menjatuhkan kepala
ke dada Hiroyuki. “Ucapanmu yang seperti itu menyesakkan…” lirihnya.
Hiroyuki menghela napas, “Yuka, aku
tidak akan membatasi pergaulanmu dengan siapa pun. Untuk anak seusiamu yang
bahkan tak pernah jatuh cinta lalu tiba-tiba menikah denganku pasti tak nyaman
karena itu jika suatu saat kau jatuh cinta pada orang lain…”
“Kata siapa aku tak pernah jatuh
cinta? Memangnya kau tahu apa soal perasaanku?” Yuka mendongak, menatap tajam
mata Hiroyuki dengan garang.
“Maaf, aku hanya pikir anak muda
pasti merasa pernikahan adalah sesuatu yang memberatkan, mengekang, tak bebas.
Tapi, aku tak mau kau seperti itu. Kau masih punya mimpi yang harus diwujudkan,
punya teman-teman dan kegembiraan masa muda… aku ingin kau menikmati masa muda sebaik
mungkin, bergaul sebanyak mungkin, menemukan cinta sejati yang membuatmu ingin
bersama selamanya, menjadi orang dewasa yang sukses…”
“Jadi, menurutmu aku yang sekarang
tak menikmati masa muda? Terkekang? Tersiksa karena pernikahan?” tanya Yuka
balik. Hiroyuki mengalihkan pandangan dan diam.
“Kalau aku… jatuh cinta pada orang
lain, kau akan melepaskan aku dari pernikahan?” Yuka menyerang Hiroyuki.
Hiroyuki menelan ludah sambil mengangguk, masih tak berani menatap Yuka.
“Kau… apa ucapanmu kalau kau
mencintaiku adalah bohong? Hanya untuk menenangkan aku? Hanya untuk membuatku
aman? Apa kau menikahiku karena paksaan? Karena surat ayah? Karena
pertunangan?”
Hiroyuki tak tahu harus menjawab apa
dari pertanyaan-pertanyaan yang dilempar Yuka bertubi-tubi. Yuka lalu
mengeluarkan borgol dan memborgol kedua tangan Hiroyuki ke tiang tempat tidur.
Peluh di diri Hiroyuki keluar, membayangkan adegan sadis akan menimpanya.
Diam-diam dia mengutuk Froshe yang pasti membisikkan Yuka untuk menyiksanya
seperti ini. Borgol itu, siapa lagi yang punya borgol kecuali detektif polisi?
Mai tak mungkin meminjamkan barang tugasnya ke Yuka, jadi… Froshelah yang pasti meminjamkan Yuka borgol.
Yuka duduk lagi di perut Hiroyuki,
tanpa senyum dia menyentuh rahang Hiroyuki.
Cup,
cup, cup.
Bibir Yuka menyentuh
leher Hiroyuki, bulu kuduk Hiroyuki berdiri otomatis, jantungnya berdegup
kencang. Kecupan-kecupan ringan yang diterima oleh leher membuat tubuhnya
menegang. Bibir Yuka…
Yuka menarik kerah kaos Hiroyuki,
kini ia menjilat leher Hiroyuki, menggigit, kemudian mencium lagi. “Yu-Yuka… apa
yang kau lakukan, jangan menyentuhku seperti itu…” jerit Hiroyuki. Yuka tak
mengubris. Tangannya meraih rambut Hiroyuki, mengacak-acak dengan bibir tetap
mengelilingi leher Hiroyuki. Wajah mereka berdua memanas, Yuka bahkan melupakan
rasa gugup di seluruh tubuh. Ia melakukannya, seperti yang dibilang Froshe.
“Serang
dia, borgol tangannya lalu cium leher, bibir, seluruh wajahnya… dan dia akan
menjadi milikmu.”
“Yu-Yuka!!” pekik Hiroyuki saat
bibir Yuka kini mencapai dahi, mata, hidung, pipi dan bibir Hiroyuki…
Ciuman bibir pertama mereka terjadi.
Hiroyuki merasakan kelembutan
disertai rasa panas dari napas Yuka. Lidah Yuka lalu menjilati bibirnya, “Yu-,”
setiap kali Hiroyuki hendak berteriak, Yuka menodongkan ciuman. Berkali-kali
bibir mereka bertemu dan akhirnya Hiroyuki menyerah, dia membuang semua
pertahanan dan membalas ciuman-ciuman Yuka.
Ciuman itu baru berakhir setelah air
mata meluncur turun dari mata Yuka dan mengenai wajah Hiroyuki. Hiroyuki
merasakan asinnya air mata itu.
“A-aku jatuh cinta pada seseorang. Aku
menyukainya. Aku mencintainya… aku menciumnya…” Yuka berbisik, memeluk leher
Hiroyuki.
Hiroyuki tersentak, pipi basah Yuka
mengenai pipinya. “Aku mencintaimu! Tapi… tapi kenapa kau bilang hal-hal
seperti itu? Kalau aku tak menyukaimu… aku tak akan menyentuhmu, aku… aku pasti
tak mau mati-matian agar bisa dilihat dirimu. Jika aku tak punya perasaan apa
pun padamu, aku akan membiarkan shikigami
menggantikanku seumur hidup dan aku akan meninggalkan kalian sejak
pernikahan terjadi… kenapa? Kenapa kau tak menganggapku?”
Hiroyuki berharap sekarang borgol di
tangannya terlepas agar ia bisa merengkuh Yuka, membalas semua pengakuan Yuka
dengan kehangatan.
“Yuka…”
Yuka berbaring di samping Hiroyuki
dan menangis, memunggungi Hiroyuki. Suara isaknya terdengar jelas, tak ada
kata-kata setelah itu.
Hiroyuki maupun Yuka sama-sama
memilih diam, mengatur kembali napas dan detak jantung yang begitu cepat akibat
ciuman. Perlahan, Yuka menyentuh bibir dan merasa malu karena sudah bertindak
seperti itu pada Hiroyuki. Ia sadar, ia sangat egois tadi dan hal itu tak bisa
dirubah. Hiroyuki pasti akan menganggapnya gadis nakal karena menyentuh
Hiroyuki dengan sadis.
“Yu-ka…”
Yuka, dengan wajah memerah hanya
diam mendengar panggilan Hiroyuki.
“A-aku mau pipis, tolong buka
borgolnya…” pinta Hiroyuki dengan wajah menahan pipis. Yuka terperanjat. Lekas
ia mengambil kunci borgol, membukanya. “Maaf,” desisnya.
Hiroyuki menghela napas lega lalu
segera ke kamar mandi yang bergabung dengan toilet setelah sedikit memberi
komentar pedas, “Uang jajanmu akan kupotong untuk membayar kerusakan pintu ini.”
Yuka terkesiap melihat hasil
perbuatannya. Wajahnya merona malu.
“Jangan mengintip dan jangan
menyerang ketika aku di kamar mandi lagi,” pesan Hiroyuki.
Setelah punggung Hiroyuki memasuki
kamar mandi yang tak punya pintu itu, Yuka mengalihkan pandangan ke luar
jendela. Suara air dari kamar mandi terdengar jelas dan pikiran Yuka membuat scene apa yang tengah terjadi di kamar
mandi. Ah, aku benar-benar menjelma jadi
gadis nakal, batinnya pada diri sendiri.
●●●
“Kita
akan pulang pukul 10,” pagi itu Hiroyuki keluar dari kamar mandi dengan setelan
kemeja dan jeans hitam. Ia meraih
sisir dan menyisir rambut, lalu duduk di sofa sambil memasang jam tangan. Yuka
yang baru bangun tidur mengamati dengan perasaan deg-degan. Kala melihat bibir Hiroyuki, ia langsung teringat
kehangatan dan kelembutan di bibirnya. Entah mengapa, hatinya berteriak ingin
lagi.
Yuka memandang bantal dan selimut di
sofa, Hiroyuki tidur di sana lagi semalam padahal Yuka tak keberatan tidur
bersama. Kembali, ingatan semalam mencuat memenuhi benak Yuka. Gadis mungil itu
tersentak dan mengusir jauh-jauh kenangan memalukan itu, yang menjatuhkan
imejnya.
“Panas, aku akan mandi.” Yuka
bangkit dari pikiran liarnya, meraih tas dan bergegas masuk ke kamar mandi. Di
luar, Hiroyuki membayangkan scene saat
mendengar suara air di kamar mandi. Gila!
Kejadian semalam membuatku ingin lagi, lebih.
[Bagaimana serangan Yuka semalam?]
Hiroyuki berdecak membaca pesan dari
Froshe.
[Kau! Awas saja! Borgolmu tak akan
kukembalikan!]
Hiroyuki membalas kesal meski dalam
hati ia ingin mengucapkan terima kasih, karena jika kejadian semalam tak ada
maka ia tak akan pernah tahu perasaan Yuka padanya.
[Oh, jadi kau mau menggunakan
borgolku untuk memborgol Yuka balik? Ehm… berhasil, ya? Sudah hilang
perjakamu?]
[Tch! Manamungkin aku menyerang jika
aku diborgol. Dan dia jatuh tertidur setelah penyerangan itu.]
[Ehm belum, ya? Syukurlah Yuka-chan masih bersih dari lolicon sepertimu…]
[Kau! Jangan mengatakan hal yang
tidak-tidak pada Yuka! Dia masih harus sekolah!]
[Pakai pengaman kalau kau tak mau
dia hamil]
[Kau!]
[Kau tak punya kosakata lain ya
selain ‘kau’?]
[Akan kubilang pada Mai kalau kau
mengoleksi foto-foto Mai di kamar sampai pensil bekas Mai pun kau simpan.]
[Woi! Gila! Aku akan bilang juga
pada Yuka tentang obsesimu pada anak kecil biar dia takut dan menjauhimu.]
[Terima kasih,]
[Eh, kenapa jadi berterima kasih?
Kau sudah lepas dari borgol, kan? Sana serang! Bye, jam 10 kami pulang. Kalau kau mau lanjut, lanjut saja… aku
akan membereskan anak-anak.]
Hiroyuki menutup telepon genggam
seraya melayangkan pandangan ke kamar mandi. Suara air dari bathtub tak ada lagi berganti dengan
suara pakaian. Pemandangan Yuka yang tengah berpakaian terlintas, buru-buru
Hiroyuki mengambil air minum dan meneguknya.
“Hi-Hiroyuki-han,” Yuka berjalan mendekat, rambutnya masih tampak basah. Tangan
mungil Yuka menyodorkan surat wajibnya dengan kikuk. Hiroyuki meraih surat itu,
membacanya sambil melirik Yuka yang memalingkan wajah.
Untuk
Hiroyuki-han.
Aku
mencintaimu.
Salam,
Yuka.
Hiroyuki menyunggingkan senyum,
menyimpan surat itu ke dalam kantong jeans.
“Mau melanjutkan yang semalam?” tanyanya jahil.
Yuka tersentak, “Maaf… semalam… semalam…
maaf! Aku tak akan jadi gadis nakal lagi,” Yuka membungkukkan badan.
Hiroyuki terbahak melihat tingkah
Yuka. “Tak perlu minta maaf. Aku suka sisi egoismu semalam, menyerang duluan… kau
nakal.”
Yuka semakin salah tingkah dan mundur
beberapa langkah dari Hiroyuki.
“Tapi, setelah ini kau tak boleh
lagi menyerangku seperti itu. Setidaknya… sampai kau lulus. Aku ingin kau tetap
gadis sampai lulus.” Hiroyuki
bergumam lalu meraih tas, “Ayo kita keluar.”
“Kau tak menjawab surat atau
pengakuanku?” Yuka membuka mulut.
Hiroyuki tersenyum, “Aku mencintaimu
Yuka.”
Wajah Yuka tersipu, ia mengambil tas
dan memegang tangan Hiroyuki. “Katakan itu setiap hari sebagai balasan
surat-suratku,” pinta Yuka.
Hiroyuki mengangguk. “Jadi… aku tak
bisa membalas surat-suratmu dengan ciuman lagi, ya?”
“Eh, ah… itu…”
“Tak perlu surat untuk menciummu,”
Hiroyuki melayangkan ciuman tepat di bibir Yuka sebelum pintu kamar terbuka.
●●●
“Maaf,
aku menarik kata-kataku untuk berkencan!” Yuka membungkuk di depan Tsuneo. Tsuneo
terperangah lalu tersenyum kecil, “Apa kau jatuh cinta pada orang lain?”
Yuka mengangguk pasti.
“Kalau begitu, semoga cintamu
terbalas.”
Dengan tenang Tsuneo melewati Yuka,
menuju mobil Froshe yang menunggu mereka.