[#TantanganMenulisNovel100Hari] PANDEMONIUM - CHAPTER XII
Keterangan :
Judul : Pandemonium
Penulis : Ariestanabirah
Genre : Romansa, Spiritual, Fantasi.
Sinopsis:
Kuraki Yuka (18 tahun) adalah seorang gadis berkekuatan aneh, kekuatannya sering disebut dengan ‘kekuatan suci’. Untuk melindunginya, Tuan Kuraki –ayah Yuka- meminta Yuka pergi ke Tokyo dan hidup bersama Akihiro Hiroyuki (27 tahun), tunangan Yuka. Sialnya, Yuka memakai kekuatannya dan membuat sebuah shinigami (Yuka tiruan) sementara dirinya yang asli menjelma seperti hantu yang tidak bisa dilihat manusia!
CHAPTER XII
“Kau
yakin ke sekolah? Luka di shikigami…”
Hiroyuki memandang Yuka dari atas ke bawah, Yuka yang baru keluar dari kamar
mandi dengan seragam sekolah mendadak salah tingkah, ia masuk lagi ke kamar
mandi dan lekas menutup pintu, “A-aku tetap akan pergi!”
“Baiklah. Sebaiknya sarapan dulu,
ayo…” Hiroyuki mengetuk pintu kamar mandi, ia tahu kalau Yuka masih belum terbiasa
terlihat oleh Hiroyuki hingga ia menjaga jarak. Yuka hanya menyahut, ‘duluan
saja!’
Setelah beberapa menit dan Hiroyuki
hampir menghabiskan sarapan, Yuka muncul dengan wajah merona. Gadis yang kikuk
itu tidak melayangkan satu tatapan pun untuk Hiroyuki. Sampai selesai sarapan,
Yuka menjaga jarak.
Semua menjadi serba aneh dan kikuk.
“Bekalmu,” Hiroyuki menyerahkan satu
kotak bekal pada Yuka. Ini pertama kali Yuka –asli- menerima bekal. Meski ia
sering melihat shikigami dan bekal
buatan Hiroyuki, menerimanya sendiri ternyata rasanya beda. Yuka hanya diam,
menyimpan bekal itu ke dalam tas kemudian pergi keluar.
“Yuka-chan! Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau sudah datang ke sekolah?
Seharusnya kau santai saja, kita sudah ujian dan libur musim panas akan
menjelang,” sembur Miki sambil menghampiri Yuka di depan muka kelas. Yuka
tersenyum kikuk, “Ah… kakiku sudah tak apa, obat dokter begitu manjur,” bohongnya.
Isamu menepuk-nepuk kepala Yuka,
“Syukurlah! Kami semalam begitu takut jika peluru mengenai jantungmu.”
“Terima kasih,” balas Yuka.
Tsuneo hanya memandang Yuka sekilas.
“Berita pagi ini,” dia menunjukkan layar telepon genggam. Di layar tertulis
berita tentang peristiwa festival semalam. Membaca nama korban sekaligus pelaku
yang meledakkan diri, mata anggota klub supranatural berkedut. “-Takaya,” ujar
mereka kompak.
“Miwa-san mengambil izin dari magang mengajar sejak hari ini. Wanita
semalam itu, pasti keluarganya. Mungkin… ibu,” tebak Tsuneo. “Takaya itu… peramal
terkenal yang hilang tiga tahun lalu, dan saat muncul dia bergabung dengan
Perserikatan Anti Sihir lalu meledakkan diri. Apa ada orang yang mau meledakkan
diri sendiri?” timpal Isamu, tak puas dengan berita yang ia baca barusan.
Yuka terdiam, tewasnya ibu Miwa
menggores luka sendiri pada hatinya. Sudah berapa banyak orang yang tewas
karenanya. Kini, wajah Miwa yang menangis karena kehilangan ibu –apalagi tak
bisa melihat jasad ibunya secara utuh karena sudah meledak- membayangi
pikirannya. Yuka merasa hampa, kosong. Apa
yang bisa aku lakukan?.
●●●
“Yuka-chan, aku kepikiran soal Takaya-san yang mengatakan sesuatu tentang
kekuatan suci yang terdeteksi padamu sebelum insiden penembakan kakimu itu…”
Isamu membuka sesi makan siang dengan obrolan sensitif. Yuka geming karena ia
tak berada di tempat kejadian berlangsung. Menggunakan gerakan pelan, Yuka
membuka kotak bekal.
“Wow! Bentuk ‘love’, apa sensei yang membuatnya? Sensei benar-benar sistercomplex!” Miki berteriak sembari menunjuk bekal Yuka. Yuka
sampai terperangah melihat bentuk cinta yang besar pada bekalnya. Wajah manis
itu sontak memerah malu. Muka Hiroyuki terbayang-bayang dalam penglihatan Yuka.
Miki tampak iri, “Padahal bekalmu
selama ini biasa saja kenapa hari ini seperti ini? Seperti bekal dari kekasih.”
Dari
suami, bukan kekasih. Yuka membalas dalam hati.
“Ehem, kembali ke pertanyaanku tadi.
Yuka-chan, apa kau atau sensei punya hubungan dengan kekuatan
suci yang dicari oleh Perserikatan Anti Sihir?” Isamu menyela Miki dan Yuka. Ingatannya
melayang ke moment Hiroyuki diserang
sewaktu berada di taman hiburan. Di rumah sakit, Hiroyuki sempat mengatakan
alat pendeteksi. Isamu mengaitkan hal itu dengan ucapan Takaya dan menyimpulkan
kalau Yuka atau sensei berhubungan
dengan pencarian kekuatan suci yang digaungkan oleh Perserikatan Anti Sihir.
Tsuneo hanya diam sembari memungut
onigiri dari bekal Isamu tanpa sungkan.
Yuka yang baru saja ingin menyumpit
bekalnya tertegun. Ia bingung apakah harus mengatakan hal sebenarnya atau
tidak. “Apa kau penyihir yang dicari mati-matian oleh mereka?” Isamu terus
mendesak Yuka dengan pertanyaan menyudutkan.
“Isamu! Jangan memaksakan
pemikiranmu pada Yuka,” tegas Miki.
“Kau penyihir, kan? Angin yang
menyerang Takaya-san… kau yang
melakukannya, kan?” serang Isamu lagi.
Yuka meneguk ludah sementara Miki
dan Tsuneo menatap kesal pada Isamu.
Isamu tampak tak terima dengan
kebisuan Yuka. “Kau tak percaya pada kami? Apa kami tak cukup untuk mengetahui
dirimu yang sebenarnya? Apa kau berencana menipu kami?” Isamu mulai berang dan
tak sabar.
“Aku… aku tak mau kalian
membenciku,” Yuka membalas dengan tangan gemetaran.
“Kenapa kami harus membenci?” tanya
Miki.
“Sewaktu SD, teman-teman menjauh,
menjahili dan mengencet karena aku berbeda dari mereka. Sejak itu, aku tak lagi
pergi ke sekolah dan tak bersosialisasi… jika, jika aku mengungkapkan perbedaan
yang ada padaku, aku… aku takut kalian akan seperti itu dan sekali lagi aku
merasakan rasa sakit karena berbeda…”
Isamu merasa bersalah membuat Yuka
mengatakan hal-hal itu. Miki memeluk bahu Yuka dan tersenyum, “Yuka-chan, kami menyayangimu.”
Rasanya Yuka hampir menangis karena
kata-kata manis Miki.
“Jadi, kau benar-benar si pemilik
kekuatan suci yang jadi incaran?” celetuk Tsuneo, memungkas suasana aneh yang
berkisar di atmosfernya.
“Mungkin,” Yuka menjawab skeptis.
Tiga orang di sekitar Yuka mendelik.
“Aku tak tahu apakah kekuatan suci
itu benar-benar aku atau bukan,” terang Yuka.
“Bisa kau perlihatkan? Aku… aku
sangat tertarik dengan supranatural…” Isamu menatap Yuka dengan tatapan
bersinar-sinar. Yuka tersenyum simpul, ini pertama kali ada orang yang antusias
dengan apa yang ada pada dirinya, yang selama ini dianggap aneh. Yuka
berkomat-kamit, membentuk simbol-simbol dengan kedua tangannya. “Wahai udara
yang menyelimuti kami, wahai udara yang senantiasa hadir. Bawa serta diri kami
dalam lumatanmu.”
Seketika, Miki, Isamu, Tsuneo, dan
Yuka terangkat dari tempat duduk mereka di atap sekolah. Tubuh mereka ringan
bagai udara, mereka mengapung. “Kalian bisa terbang dan bergerak seperti biasa
kok.” Yuka berdiri, menarik Miki, Miki menarik Isamu, dan Isamu menarik Tsuneo.
Empat orang itu lantas membentuk lingkaran. “Tanpa gravitasi,” tukas Isamu
senang.
“Melayang di udara seperti perasaan
ketika bersama orang yang dicintai,” seru Miki. “Apa kau sering melayang seperti
ini bersama sensei? Dia kan kakak
yang sistercomplex… apa dia membuatmu
mengeluarkan kekuatan?” sambungnya.
“Aku tak pernah…”
“Apa kami yang pertama?” tanya
Tsuneo.
Yuka mengangguk, “Tapi, energiku
tidak banyak mungkin kalian harus bersiap-siap untuk… jatuh,”
Bruuk.
Mereka berempat ditarik
kembali oleh gravitasi. Meski pantat sakit akibat tiba-tiba jatuh, mereka
tertawa. “Ini menyenangkan, kekuatanmu tidak berbahaya seperti yang digosipkan
oleh Perserikatan Anti Sihir,” kata Isamu yakin.
Yuka menyunggingkan senyum.
●●●
“Tadaaa!” Miki memasuki ruang klub
supranatural dengan ekspresi begitu riang gembira, seperti habis memenangkan
lotere. Gadis berambut hitam itu melambai-lambaikan beberapa kertas dan
berkedip kecil ke arah Hiroyuki. Yuka yang melihat kedipan menatap dingin Miki.
Miki melangkah sombong sambil
mengipas-ngipaskan kertas-kertas di tangannya. “Tiket liburan di pantai dan
menginap gratis untuk libur musim panas!” kertas yang ternyata tiket itu
dijejerkan Miki ke meja tempat Isamu, si ketua klub duduk. Isamu, si kacamata
langsung melihat tiket itu dan memicingkan mata, “Wow! Kau selalu saja dapat
barang-barang gratis!” pujinya pada Miki. Miki tergelak angkuh, “Aku adalah
putri cantik yang bercahaya![1]”
“Sensei
dan Yuka-chan ikut, ya! Tiketnya
pas untuk kita berlima,” ajak Miki, melirik Hiroyuki dan Yuka yang duduk di
sofa panjang. Melihat kekosongan antara Hiroyuki dan Yuka, Miki memanfaatkan
dengan duduk di tengah mereka, menyerempet ke Hiroyuki. “Sensei mau, kan?” bujuknya genit.
Yuka diam-diam merutuk Miki dan
Hiroyuki.
“Aku tak mau bertemu orang-orang
seperti kalian di hari libur, cukup di sekolah saja,” ketus Tsuneo.
Miki dan Isamu memandang keki Tsuneo
yang dianggap tidak kompak. “Ini libur musim panas terakhir kita! Kita harus
membuat kenangan masa muda yang tak terlupakan. Iya, kan Sensei?” Miki meminta dukungan Hiroyuki. Hiroyuki menepuk kepala
Miki, “Lebih baik tidak memaksa orang, siapa tahu Tsuneo-kun ada rencana lain.”
Yuka semakin merutuk meski ia tak
acuh pada Hiroyuki. Sejak malam itu, ia tak pernah berani bertemu mata dengan
Hiroyuki. Semua mendadak membuat gugup bahkan untuk melihat pun tak sanggup.
Rasa yang seperti ini membuat Yuka kesal, ia jadi tak dapat bersikap normal
atau biasa bahkan berpura-pura tak punya perasaan apa pun saja tak bisa.
Yuka sudah menyadari perasaannya ke Hiroyuki dan
kini Hiroyuki bisa melihatnya ah bukan, sejak awal memang sudah bisa dilihat
Hiroyuki. Hanya saja, sekarang mereka sama-sama saling bertemu. Di rumah pun begitu, mereka makan dalam keheningan,
Hiroyuki sepertinya merasa kalau Yuka menjaga jarak dan dia akhirnya juga
menjaga jarak, hanya bicara seperlunya saja.
Di sekolah juga begitu, apalagi ujian sudah usai,
hanya tinggal acara bersih sekolah dan kegiatan klub saja. Intensitas pertemuan
dengan Hiroyuki bisa dihitung dengan jari, bisa dikatakan hampir tak ada
percakapan di sekolah. Tadi juga, ketika Yuka mengunjungi ruang klub, ia
melihat Hiroyuki sudah ada di sana duluan sambil membaca koran. Karena tak mau
berduaan, ia menunggu sampai Isamu, Miki, atau Tsuneo datang baru masuk ke
ruang klub.
“Hm, Sensei ikut, kan? Yuka-chan?”
Miki bertanya lagi dengan mata memelas. Yuka terdiam, ia tak tahu harus jawab
apa karena segala keputusan mengenainya ada pada Hiroyuki. Hiroyuki melirik
Yuka, ia menebak kalau Yuka belum pernah liburan ke pantai bersama teman-teman
sebelumnya. Tanpa meminta pendapat Yuka, Hiroyuki menyetujui ajakan Miki dan
mengambil dua tiket dari meja Isamu. Isamu pun mengambil satu, tinggal satu
tiket…
Miki melirik Tsuneo yang masih
terpekur.
“Tsuneo-kun? Di pantai banyak gadis cantik berbikini loh, aku juga akan
pakai…” Miki menggoda Tsuneo. Wajah Tsuneo yang dingin tetap dingin, ia tak
tertarik dengan godaan Miki sementara Isamu sudah mengeluarkan mimisan dari hidungnya,
anak berwajah cantik itu pasti sudah membayangkan dirinya di pantai dengan
gadis-gadis seksi.
Di saat itu Hiroyuki dan Yuka
bertemu pandang, Hiroyuki menjerit agar Yuka tak memakai bikini karena ia tak
mau Yuka dilihat laki-laki mana pun, sementara Yuka memekik agar Hiroyuki tak
melihat gadis-gadis seksi di pantai. Dua orang itu saling melempar pikiran dan
entah mengapa, mereka saling mengerti.
“Aku… tak bisa berenang, jadi di
pantai aku akan bermain pasir saja.” Yuka berseru pelan.
Hiroyuki menghela napas lega.
Miki setengah berbisik, “Yuka-chan, ini saatnya kau menunjukkan
potensi tubuhmu pada dunia, kalau tidak… kau akan menjadi jomblo selamanya.”
Wajah Yuka memerah, hampir saja dia
berkata ‘aku sudah menikah’.
Miki berdiri di antara orang-orang
yang duduk, ia memandang satu tiket yang seharusnya dimiliki oleh Tsuneo dengan
sedih. “Baiklah, buat yang punya tiket. Kita akan bertemu minggu depan di
stasiun X, jam 7 pagi. Lebih cepat lebih baik.”
“Kita naik kereta?” tanya Isamu.
“Kenapa? Mabuk keretamu masih ada,
ya?” ledek Miki.
Isamu berdeham, “Aku akan bawa mobil
dan menyetir, jadi… tak usah naik kereta.”
“Memangnya Tuan Muda Isamu bisa
menyetir? Naik bom-bom car saja tidak
bisa,” Miki bicara mengejek. Isamu terlihat berang tapi ia menahan emosinya,
“Kakakku akan kupaksa ikut.”
“Dasar sistercomplex,” tandas Miki.
●●●
Ruang
klub bernuansa gothic itu mendadak
sepi tatkala Isamu, Tsuneo, dan Miki meninggalkannya. Hanya Yuka yang tersisa
sementara Hiroyuki sedang mengikuti rapat guru. Hiroyuki tadi meminta Yuka
menunggu agar mereka pulang bersama. Yuka duduk dengan menjulurkan kaki di
sofa, setelah sebelumnya menyibak tirai jendela yang hitam agar langit biru
bisa terlihat.
Ah, langit sudah mau berubah warna.
Yuka mengamati pergerakan awan
dengan perasaan tenang, tak lama ia merasa matanya berat dan ia tertidur.
Hiroyuki mengetuk pintu klub,
membuka dan menemukan sang tuan putri berbaring tanpa pertahanan. Setelah
menutup dan mengunci pintu, Hiroyuki berjalan pelan dan memandang wajah Yuka
yang lugu. Tanpa bisa menahan hasrat, Hiroyuki membelai rambut Yuka hingga berantakan.
“Yuka… bangun, Yuka… kalau tidak
bangun nanti aku akan menciummu,” bisik Hiroyuki jahil. Yuka tak membuka mata
dan hal itu membuat muka Hiroyuki memanas, “Yuka…” panggilnya lagi, kini ia
menyentuh pipi Yuka.
Cup.
Hiroyuki membenamkan bibirnya pada
leher Yuka hingga Yuka tersentak, “Hi-Hiroyuki-han!” teriaknya kaget. Hiroyuki yang menyadari kelakuan nakalnya
langsung berdiri dan membungkukkan badan, “Maafkan aku.”
Wajah Yuka memerah, ia menyentuh
bagian leher yang dicium Hiroyuki. Matanya memandang Hiroyuki dengan rasa malu
dan kesal. “K-kau bilang tak boleh menyentuh dan tak akan menyentuh!”
Hiroyuki semakin membungkukkan
badan, “Maaf, Yuka… aku… aku… tak bisa menahan…”
Yuka bangkit dari sofa dan menginjak
kaki Hiroyuki sekuat tenaga. “Mesum!” hardiknya.
Hiroyuki memaki dirinya yang berbuat
tak senonoh pada Yuka, jika Yuka tadi tak bangun mungkin leher itu bukan
satu-satunya bagian diri Yuka yang ditandai sebagai milik Hiroyuki. Hiroyuki
kembali memantrai dirinya, aku bukan lolicon.
“Karena aku bersalah, aku akan
mentraktirmu es krim.” Hiroyuki menyahut. Yuka menoleh dan memandang Hiroyuki
dengan raut tak senang, “Kau pikir aku anak kecil?”
“Kau memang anak kecil, kan? Makanya
disentuh sedikit kau takut…”
Yuka berbalik, berjalan menuju Hiroyuki
lantas menarik dasi kemeja Hiroyuki dengan sepenuh hati. “Kau menyebalkan!”
mata mereka berpandangan lekat, Hiroyuki lagi-lagi kelepasan dan akhirnya
memeluk Yuka. “Akhirnya kau menatap mataku, selama ini kau takut, kan? Kenapa?
Apa karena kau tahu aku akan melumatmu? Kau takut dilahap, ya? Dasar anak
kecil,” Hiroyuki berkata jahil.
Kini, rusak sudah imej dewasa yang
selama ini dipakainya untuk menghadapi shikigami,
dia tak bisa menggunakan imej dewasa nan bijak pada Yuka. Karena, ia
memiliki perasaan khusus pada Yuka hingga tak bisa menjadi normal. Bahkan, ia sudah lupa dengan perbedaan usia sembilan tahun
dan status mereka di sekolah sekarang. Bagi Hiroyuki, Yuka di hadapannya, yang
masih memakai seragam sekolah adalah gadis yang dicintainya, yang terpatri di
hati dan benaknya sejak ia berusia 16 tahun.
“Le-lepaskan aku! Kau terlalu dekat!
Dan ini di sekolah!” pekik Yuka.
Hiroyuki semakin mengeratkan
pelukan, “Kalau begitu… di rumah boleh?”
“Sejak kapan kau jadi seperti ini!”
“Sejak aku mencintaimu.”
“Men-…” wajah Yuka laksana kepiting
rebus, ia mendorong Hiroyuki hingga Hiroyuki terjatuh di sofa. Pengakuan
tiba-tiba Hiroyuki membuat Yuka kaku, dia berjalan meninggalkan Hiroyuki,
keluar dari ruang klub dengan perasaan panas. Kata-kata terakhir Hiroyuki
terngiang-ngiang sepanjang jalan pulang. Hiroyuki mengawasi dari belakang
dengan wajah tak kalah merahnya. Aku
sudah mengakui perasaanku… aku resmi menjadi lolicon?.
●●●
“Kau
marah karena aku memelukmu di sekolah?” Hiroyuki bertanya setelah makan malam
kaku di antara ia dan Yuka. Yuka mendengus bisu, lalu masuk ke selimut futon-nya. Hiroyuki mendesah dan menarik
futon agak menjauh dari Yuka.
“Maaf, sebenarnya aku memang orang
yang seperti ini. Tapi, sebagai guru dan orang dewasa… aku tak boleh menunjukkan
sisi seperti itu… maaf, kau pasti berpikir aku nakal dan menakutkan. Maaf…”
Hiroyuki terdengar menyesal.
Yuka hanya menelan ludah, sebenarnya
bukan itu masalahnya. Masalahnya ada pada diri Yuka sendiri, ia merasa senang
dengan pengakuan Hiroyuki, ia juga tak masalah dengan sentuhan yang diberikan
Hiroyuki, meski… hal itu membuat dirinya aneh, melayang, gugup, sekaligus rapuh
di saat bersamaan. Yuka bingung bagaimana caranya bersikap normal pada Hiroyuki.
“Hiroyuki-han tak perlu meminta maaf…” desis Yuka.
“Kau tak marah?”
“Aku… aku tidak marah, aku hanya
bingung. Tiba-tiba… kau mengatakan hal itu…”
“Pengakuanku? Sebenarnya, aku tak
pernah mengatakan hal seperti itu jadi itu spontanitas, apa seharusnya aku
mengatakannya dalam moment yang
romantis? Kalau dipikir, aku mengaku di saat yang buruk, ya? Setelah melakukan
hal-hal yang tak kau sukai… tapi, kau sendiri seenaknya memelukku waktu di
festival… aku pikir tak apa memelukmu karena kau memelukku duluan. Ah, aku
salah ya?” Hiroyuki terus berbicara sambil melihat ke meja kecil yang ada di
sudut ruangan. Hiroyuki maupun Yuka saling memunggungi satu sama lain.
Yuka menggeleng pelan, “Rasanya
aneh, membingungkan… aku jadi tak tahu harus melakukan apa setelah
mendengarnya.”
“Apa kau berdegup kencang mendengarnya?
Apa kau senang?”
“Ehm…”
“Yuka-chan… aku…”
Seeet.
Tangan-tangan mungil
Yuka melingkari pinggang Hiroyuki. “Ja-jangan berbalik!” pinta Yuka dengan
suara bergetar malu. Hiroyuki menahan napas karena merasakan tubuh Yuka di
punggungnya.
“Hiroyuki-han, kau hangat…”
“Yuka, kau dulu juga pernah
memelukku sambil bilang aku hangat, waktu itu kita berhadapan seperti ini…”
Hiroyuki mengindahkan perintah Yuka yang tak memperbolehkannya berbalik. Mata
mereka bertemu, Yuka memukul Hiroyuki yang melawan perintahnya. “Kau sendiri
yang datang padaku, sikapmu ini bisa kuartikan mengundang,” bisik Hiroyuki nakal.
“Bukan itu maksudku! Aku… aku…”
Hiroyuki tertawa hingga matanya
menyempit. Ia mengelus kepala Yuka seperti mengelus bulu kucing, “Selamat
tidur, Yuka-chan…” jika saja tubuhnya
tak lelah dan matanya tidak meraung-raung untuk ditutup, Hiroyuki ingin
merealisasikan skenario liar yang bergerak-gerak dalam benak, namun… ia tak
bisa melawan panggilan alam dan jatuh terlelap.
Hiroyuki membenamkan Yuka ke pelukan
dan memejamkan mata. Yuka mendengar suara detak jantungnya yang lebih cepat,
mungkin bisa copot kalau ia tak menahannya. Perlahan, Yuka menghirup aroma
tubuh Hiroyuki yang harum, sabun yang Hiroyuki pakai terasa jauh lebih harum
daripada yang melekat di tubuh Yuka, padahal sabun mereka sama. Wangi sampoo
Hiroyuki juga mencapai hidung Yuka, wanginya membuat Yuka ingin mengacak-acak
rambut hitam Hiroyuki.
Yuka lalu menatap piyama yang
dikenakan Hiroyuki, ada keinginan untuk membuka kancing-kancing itu tapi Yuka
sudah tak kuat menahan kantuk. Ia tertidur dalam dekapan Hiroyuki yang hangat
dan lembut. “Hiroyuki-han, suki[2].”
Komentar
Posting Komentar