[#‎TantanganMenulisNovel100Hari‬] PANDEMONIUM - CHAPTER XI



 
Keterangan :
Judul : Pandemonium
Penulis : Ariestanabirah
Genre : Romansa, Spiritual, Fantasi.
Sinopsis: 

Kuraki Yuka (18 tahun) adalah seorang gadis berkekuatan aneh, kekuatannya sering disebut dengan ‘kekuatan suci’. Untuk melindunginya, Tuan Kuraki –ayah Yuka- meminta Yuka pergi ke Tokyo dan hidup bersama Akihiro Hiroyuki (27 tahun), tunangan Yuka. Sialnya, Yuka memakai kekuatannya dan membuat sebuah shinigami (Yuka tiruan) sementara dirinya yang asli menjelma seperti hantu yang tidak bisa dilihat manusia!



CHAPTER XI

Suara sirine mobil polisi terdengar bersahut-sahutan di malam ramai festival tanabata. Hiroyuki dan Yuka yang berlarian akhirnya sampai di sebuah tanah lapang, para polisi tengah membentuk lingkaran dan menodongkan pistol ke tengah.
            Hiroyuki menahan laju, meminta Yuka untuk mengamati dari kejauhan. Di dekat lingkaran para polisi, tampak Isamu, Tsuneo, dan Miki yang berwajah sendu bahkan Miki tampak menangis sejadi-jadinya.
            “Hiroyuki-han… apa yang…”
            Shikigamimu ditembak,” bisik Hiroyuki.
            Yuka terperanjat kemudian mencoba merasakan kehadiran shikigami, aura shikigami melemah. Ya, sesuatu yang buruk hampir saja melenyapkan shikigami.
            Tepat di tengah lingkaran polisi, seorang perempuan dengan topeng mata mengayunkan pistol ke leher shikigami. Sebelumnya, dia sudah menembakkan dua peluru ke kaki shikigami sehingga shikigami tak bisa melarikan diri. “Polisi…” desisnya, mata almond itu melihat sinis ke pada para polisi.
            Door!
            Dia menembak begitu saja ke salah satu polisi.
            “Siapa yang ingin ditembak selanjutnya? Aku bisa menembak langsung ke jantung…” serunya sambil tertawa. Polisi-polisi itu meningkatkan kewaspadaan dan membaca situasi, mereka tak bisa sembarang bergerak karena perempuan bertopeng mata itu bisa membahayakan tawanan dan polisi sekaligus.
            Yuka yang melihat dari kejauhan mulai tak tenang, ia tak mau ada lagi korban karenanya. Ia berkonsentrasi, berkomat-kamit, membentuk simbol-simbol di kedua tangannya, “Wahai angin yang berhembus lembut, wahai angin yang mengelilingi semesta ini. Tiupkan sedikit napas menyibak pistol yang terpegang!”
            Hiroyuki memerhatikan keseriusan Yuka mengeluarkan kekuatan suci dengan tatapan takjub.
            Wuuusss.
            Angin yang tak terprediksi oleh siapa pun menyeruak lingkaran, menerbangkan pistol yang berada di tangan si perempuan bertopeng mata. Perempuan itu tampak panik dan para polisi memanfaatkan situasi untuk membekuk si perempuan yang menyematkan pin naga di dada kiri.
            “Yuka, kau berhasil…” Hiroyuki menoleh pada Yuka, kepala Yuka terjatuh di pundak kanannya. Hati-hati, Hiroyuki membuka topeng yang menutupi wajah Yuka, ia mendapati Yuka jatuh tertidur. Mungkin, Yuka kelelahan karena mengeluarkan kekuatan suci. Hiroyuki menggendong dalam mode pangeran dan membawa Yuka menjauh.
            [Kau di mana sih? Yuka dalam bahaya!]
            Pesan-pesan Froshe dibaca sekilas oleh Hiroyuki. Setelah membawa Yuka kembali ke apartemen, secepat mungkin Hiroyuki melesat ke tempat festival. Saat ia tiba, perempuan bertopeng itu sudah meledakkan diri –persis dengan orang-orang yang menyerangnya di taman hiburan- dan shikigami telah dibawa ke rumah sakit terdekat.
●●●
Sensei!” Miki berdiri dari tempat duduk dan menyambut Hiroyuki yang berlarian. Gadis yang matanya sembab itu menunjuk ke sebuah ruang, “Yu-Yu-… maaf, aku tak bisa melindungi Yuka…” tangis Miki. Hiroyuki menepuk-nepuk kepala Miki dengan lembut dan tersenyum. Isamu serta Tsuneo ikut menghampiri Hiroyuki dan meminta maaf.
            Di ruangan tempat shikigami dirawat, Froshe dan Mai berada di dekat katil. Dua orang itu memandang Hiroyuki dengan ekspresi campur aduk, mereka sedih sekaligus kesal karena Hiroyuki tak kunjung muncul. Hiroyuki tentu saja tak bisa memberitahu kalau yang tengah terluka adalah shikigami, bukan manusia, hanya pengganti Yuka yang bisa lenyap kapan saja sekehendak hati Yuka.
            Sensei!” teriak shikigami. Dengan wajah mengabaikan rasa sakit ia tersenyum lega, “Yuka baik-baik saja, kan?” dia bertanya yang membuat orang-orang di kamar itu bingung. Hiroyuki mengangguk kecil dan mengelus kepala shikigami, “Maaf…”
            “Aku bisa lenyap kapan saja, sudah sewajibnya aku melindungi Yuka dan menjalankan tugasku…” bisik shikigami lirih.
●●●
Froshe menunjukkan sebuah foto perempuan pada Hiroyuki, “Takaya Haruno, seorang peramal.” Kata-katanya ditahan sebentar kemudian berlanjut, “Dia hilang tiga tahun lalu, ibu kandung Takaya Miwa,” sambung Froshe dengan suara direndahkan.
            Hiroyuki tersentak.    
Froshe memandang pin itu dan mengangkatnya tinggi, “Ada banyak kasus orang hilang di Tokyo, yang paling ramai kasus hilang itu tiga tahun terakhir. Aku rasa orang-orang hilang itu diculik dan dicuci otak oleh Perserikatan Anti Sihir, empat orang yang meledak di taman hiburan kemungkinan besar juga orang hilang, meski pada kasus penculikan Yuka, pelaku masih hidup dan dia bukan orang hilang.”
            Hiroyuki mendengarkan Froshe secara seksama.
            “Aku jadi bertanya-tanya, mengapa Akito tidak meledak seperti Takaya-san dan empat orang itu? Lalu aku sampai pada hipotesis, pin naga.” Froshe melihat lurus ke arah Hiroyuki. “Akito tak memiliki pin naga sementara semua orang yang meledak memilikinya. Setelah peledakan diri, pin naga ataupun pecahannya tak pernah ditemukan.”
            “Maksudmu… pin itu pemicu ledakan? Seperti bom yang bisa meledak ketika mereka dalam bahaya?”
            Froshe menyeringai, “Bisa jadi! Lantas, aku rasa pin itu juga yang mengontrol pikiran mereka. Seperti hipnotis, orang normal mana maulah meledakkan diri sendiri!”
            Hiroyuki merasa hipotesis Froshe mengarah ke kebenaran.
            “Aku ingin menyamar sebagai Akito. Orang Perserikatan itu tidak melenyapkan Akito, itu artinya mereka tak tahu keberadaan Akito. Aku akan menyusup ke Perserikatan Anti Sihir itu,” sambung Froshe dengan mata berbinar.
            “…itu bahaya.”
            “Kau kira aku ini takut? Aku seorang polisi detektif!”
            “Mai pasti tak mau kau sendirian menyusup.”
            “Tolong rahasiakan darinya. Jika aku nanti hilang atau mungkin menyematkan pin naga di dada kiri, anggaplah aku sudah mati demi kebenaran.”
            Froshe menepuk bahu Hiroyuki sebelum berlalu. Hiroyuki tercenung, ia memandang nanar punggung lebar Froshe yang akan menenggelamkan diri pada kasus. Pikiran Hiroyuki berkecamuk, ia tak rela sahabatnya melakukan hal itu sendirian. Dalam hati, Hiroyuki memaki dirinya yang lemah dan tak bisa melindungi Yuka sendirian. Ia benci harus melibatkan orang lain untuk kepentingan dirinya. Saat ia berpapasan dengan Mai, ia hanya bisa berbisik lirih. Maaf.
            “Hiroyuki, ada sesuatu yang mengganjal pikiranku,” Mai berujar.
            Hiroyuki menunggu kata-kata Mai dengan tak sabar.
            “Sebelumnya, aku dan Froshe bertemu Yuka-chan dan dia tidak memakai yukata, tapi… Yuka-chan yang tertembak memakai yukata. Teman-temannya bilang Yuka-chan bersama mereka selama festival dan sejak awal ia memakai yukata. Aku benar-benar yakin Yuka-chan yang kutemui bersama Froshe… tidak memakai yukata, dia memakai blouse merah panjang dan celana hitam panjang.”
            Hiroyuki menangkap maksud Mai dengan baik, bagaimana caranya ia menjelaskan perihal Yuka dan shikigami?
            “Aku… belum bisa menjelaskannya sekarang. Maaf Mai,” putus Hiroyuki. Mai tampak tak terima namun ia menghela napas dan memutuskan menunggu sampai Hiroyuki mau menjelaskan padanya, suatu saat nanti.
●●●
Karena peluru tidak menancap dalam di kaki shikigami, dokter mempersilahkan shikigami pulang setelah perawatan. Hiroyuki dan shikigami membungkukkan badan pada Froshe, Mai, serta Miki, Isamu, dan Tsuneo sebelum masuk ke dalam taksi.
            Saat mereka berdua tiba di depan apartemen, Hiroyuki memopong shikigami.
            Tepat di depan pintu, shikigami mendadak lenyap, kembali dalam bentuk kertas. Hiroyuki melebarkan mata dan menangkap kertas yang berisi tulisan ‘YUKA’ di sana. Entah mengapa, ia menitikkan air mata karena kehilangan shikigami yang tiba-tiba.
            Srak!
            Yuka menyembul dari dalam, membuka pintu dan mendapati Hiroyuki tengah menangis. Tanpa kata-kata Hiroyuki menerobos masuk dan langsung menuju kamar mandi, mencuci muka. Yuka melihat sekilas kertas yang dibawa oleh Hiroyuki, shikigami penggantinya telah lenyap –tugasnya sudah selesai dengan baik. Sedetik kemudian, baik Yuka atau Hiroyuki sama-sama tertegun sambil bergumam, mulai saat ini… kami hanya akan berduaan?
            Ingatan di festival menyeruak dalam keheningan hingga wajah keduanya memanas.
            Yuka juga terkenang ucapan Hiroyuki, “Shikigamimu ditembak” yang menandakan kalau Hiroyuki tahu tentang shikigami juga reaksi Hiroyuki ketika ia tiba-tiba memeluknya, Hiroyuki tak bertanya tentang yukata yang shikigami kenakan. Apa dia tahu tentangku dan shikigami?, batin Yuka.
            Tatkala Hiroyuki keluar dari kamar mandi, mereka saling melihat lalu membuang muka. Aura di antara mereka begitu aneh, dua-duanya jadi kikuk seperti orang asing. Hiroyuki bergerak duluan dan membuka kulkas, “A-apa kau mau makan?” tanyanya gugup.         
            Yuka mengangguk kecil, “Ya.”
            Hiroyuki menghidangkan nasi kare instan secepat yang ia bisa sembari menata degup jantung. Ini pertama kali mereka benar-benar berdua di sebuah ruangan dengan sebuah futon tersedia di belakang –tempat Yuka tidur tadi-. Hiroyuki merasa ini malamnya, tapi kemudian ia melirik kalender yang mengingatkan kalau Yuka masih anak SMA dan tak boleh disentuh.
            Hiroyuki menyajikan nasi kare dengan gerakan robot. Mereka memakan nasi kare tanpa mengucapkan kata-kata, larut dalam pikiran masing-masing bahkan mata mereka takut untuk bertemu. Sepasang manusia itu saling membuang muka dan memarahi jantung yang berdetak di luar batas normal.
            Yuka tampak tak menikmati makan malam pertamanya dengan Hiroyuki karena suasana hati yang berdegup kencang, aliran darahnya terasa melenceng, udara terasa begitu dingin menusuk. Semua tampak di ambang batas. “…di festival, kau bilang shikigamimu tertembak. Bagaimana kau tahu tentang shikigami?” Yuka akhirnya buka suara, tak tahan dengan keasingan dan kekakuan di antara mereka. Rasanya menyesakkan dada.
            Hiroyuki melirik Yuka, “Aku bisa melihat hal yang tak bisa dilihat orang normal.”
            Mata hitam Yuka mendelik, dengan gemetar ia menyuapkan nasi kare ke mulut. Pikirannya membawa Yuka ke putaran kenangan yang terjadi. Jika Hiroyuki memang bisa melihat hal seperti itu, berarti… sejak awal Hiroyuki mengetahui keberadaan Yuka. Yuka cepat-cepat meneguk apa yang dikunyahnya.
            “Kau bisa… mendengar hal itu juga?”
            Dagu Hiroyuki mengangguk, “Sejak awal aku tahu tentangmu. Maaf, aku menyembunyikan hal ini darimu.” Hiroyuki merasa tercekat mengatakan hal ini sementara wajah Yuka memerah drastis.
            “Ja-ja-di… kau mendengar semuanya? Melihat semuanya?”
            “Ya, kau yang marah-marah, kau yang menindihku, kau yang memegang tanganku di rumah sakit… semuanya.”
            Muka Yuka yang merah padam tak bisa disembunyikan. Yuka menyudahi makan malam dan segera menuju futon, menyembunyikan diri di balik selimut. Dia berteriak pada dirinya, bagaimana ini? bagaimana ini?. Di luar selimut, suara langkah kaki Hiroyuki terdengar menjauh, mungkin Hiroyuki tengah membereskan makan malam mereka.
            Seet.
            Suara futon yang ditarik mencapai pendengaran Yuka. Hiroyuki tengah membentangkan futon satu lagi di sebelahnya kemudian lampu dimatikan dan diganti lampu pijar remang-remang.
            Siiing.
            Yuka mencoba memejamkan mata, ia mendengar suara napas Hiroyuki. Ia tak bisa tertidur. Yuka mengintip dari selimut, membalikkan badan ke kiri untuk memastikan kalau Hiroyuki sudah terlelap. Ya, Hiroyuki sudah memejamkan mata.
            Enaknya bisa langsung tidur, dia tidak deg-degan seperti aku. Yuka bergumam, memandang wajah tidur Hiroyuki.
            Sementara Hiroyuki yang merasa kalau Yuka memerhatikannya hanya bisa berpura-pura tidur, tolong cepat tidur! Cepat tidur!. Entah ia tujukan pada dirinya atau Yuka kata-kata dalam hatinya itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru