[Rekomendasi Novel] Bella - Munif Chatib
Selamat malam!
Saya telah melahap sebuah novel pendidikan berjudul sama dengan nama panggilan rumah untuk saya, Bella :)
Keterangan:
Judul buku: Bella -Sekolah Tak Perlu Air Mata-
Penulis: Munif Chatib
Penerbit: Kaifa
Tahun Terbit: 2015
Sinopsis:
Saya telah melahap sebuah novel pendidikan berjudul sama dengan nama panggilan rumah untuk saya, Bella :)
Keterangan:
Judul buku: Bella -Sekolah Tak Perlu Air Mata-
Penulis: Munif Chatib
Penerbit: Kaifa
Tahun Terbit: 2015
Sinopsis:
Barisan angka dan huruf X atau Y, simbol =, +, dan lain-lain tiba-tiba berdiri semua. Lalu, berjalan pelan-pelan menuju baju Bella, mencoba meraih kancing baju Bella. Dan, satu per satu, memanjat sampai ke leher. Jumlahnya bertambah banyak, memaksa membuka mulut Bella. Bella mencoba menutup mulutnya dengan tangan. Terlambat! Satu angka berhasil lolos....
Akhirnya, Bella tersungkur di mejanya, tak kuat lagi.
Itulah yang terjadi setiap kali Bella menghadapi lembar soal matematika. Mungkinkah Alwan dan Salma membawa Bella, sang putri tercinta, keluar dari derita disleksia dan diskalkulia? Menyembuhkan luka hati terdalam?
Review:
Cerita Bella dimulai di saat pasangan Alwan dan Salma akan menyambut anak pertama mereka. Karena pasangan muda ini mengabaikan pemeriksaan kandungan rutin, alhasil setelah melahirkan, Salma koma dan rahimnya mengalami adenomiosis, yang memungkinkan ia sulit hamil lagi. Dan satu yang lebih menyakitkan lagi adalah, putri pertama Bella mereka menderita disleksia (hambatan di otak yang menyebabkan seorang anak sulit berbicara dan membaca) lantaran Salma kekurangan nutrisi sewaktu mengandung.
Di usia dua tahun, Bella hanya mampu mengucapkan kata 'Baba' dan 'Mama', panggilan untuk Alwan dan Salma. Karena cuma bisa ngomong itu, teman-teman sepermainan Bella di lingkungan mengejeknya bisu. Lantas, Alwan yang seorang psikolog kemudian mengobati Bella ke Jauhari, seorang psikiater sekaligus sahabat karibnya. Dari Jauhari, Bella diterapi sedikit demi sedikit. Pasangan Alwan dan Salma pun diminta untuk bersabar dan tekun dalam menghadapi Bella dan segala hambatannya. Salah satu terapi yang dilakukan adalah rutin membacakan buku setiap menjelang tidur dan meminta Bella menjawab pertanyaan berdasarkan cerita yang dibaca meski gadis kecil itu selalu menjawabnya hanya dengan sekilas senyum, tanpa kata-kata.
Tatkala ingin memasukkan Bella ke taman kanak-kanak, Salma dan Alwan harus menerima penolakan dari pengurus taman kanak-kanak karena mereka tidak mau menerima anak seperti Bella. Pasangan itu kemudian memasukkan Bella ke sebuah komunitas belajar bernama Taman Bermain Kupu-Kupu, di sini Bella diterima apa adanya, dengan segala keterbatasannya.
Menjelang usia ke tujuh, Bella sudah mampu mengucapkan delapan kata lain selain Baba dan Mama.
"Mengukur perkembangan anak itu harus secara ipsative, artinya mengukur perkembangan seorang anak diukur dari anak itu sendiri. Enam bulan yang lalu hingga sekarang, apa saja perkembangannya. Satu atau dua tahun lalu, hingga sekarang, sudah bisa apa anak kita. Kita tidak boleh mengukur kemampuan anak kita dengan cara membandingkan dengan orang lain." -Jauhari, hal.59.
Suatu ketika Alwan mengamati coretan-coretan Bella di dinding rumah. Tak lama, Alwan menyadari bahwa ia sudah menemukan 'pintu masuk' Bella. Anak itu memiliki bakat! Bakat menggambar. Gaya belajarnya adalah dengan gambar!
Bella pun masuk SD. Saat ia menghadapi soal matematika yang abstrak, Alwan akan mengubah soal-soal tersebut menjadi gambar dan ajaibnya... Bella mampu memecahkan semua soal matematika!
"Diputar, ditusuk, dicungkit, itulah gaya belajar. Para botol itu perumpamaan anak-anak kita. Bisa dibayangkan membuka tutup botol minuman ini dengan menarik atau mencungkit. Seharian tak akan terbuka. kalau membukanya dengan memutar, langsung terbuka dan botol itu siap diisi ilmu. Aku yakin, cara membuka tutup otak Bella adalah dengan menggambar." Alwan, hal.71
Sampai akhirnya, Bella menghadapi ujian matematika dan mendapat nilai paling rendah, 30. Bella hanya menjawab soal cerita -itu pun dibacakan oleh Sarah, teman sebangkunya yang tahu kalau Bella tak bisa membaca- sementara untuk soal bukan soal cerita, Bella tak menjawab karena katanya soal itu tidak punya permasalahan yang harus diselesaikan.
Bella pun kena marah oleh guru matematika, guru matematika itu mengejek Bella bodoh bahkan menulis kata BODOH itu di kertas ujian Bella. Bella menangis dan malu hingga tak mau masuk sekolah. Kini, Bella berada di masa trauma dengan matematika yang memicu terjadinya diskalkulia, hambatan yang akan menyebabkan Bella susah mengasah kemampuan menghitung.
Setelah Bella divonis menderita diskalkulia, lagi-lagi Jauhari mengingatkan agar Alwan dan Salma fokus pada kecerdasan, jangan pada hambatan. Bella punya bakat menggambar dan itu adalah harta karun.
Tak terasa, musim ujian berakhir. Alwan dan Salma was-was dengan hari pembagian raport dan semakin was-was tatkala kepala sekolah SD tempat Bella bernaung mengatakan Bella tidak naik kelas lantaran semua nilainya dibawah ketuntasan.
Di tengah kegalauan karena Bella tak naik kelas, Alwan bertemu dengan seorang kepala sekolah, Bu Nur, sewaktu menggantikan Jauhari ke sekolah anaknya, SD Bunga Bangsa.
"Karya siswa dihargai sebagai kemampuan. Sikap siswa dalam proses belajar juga kita hargai. Kemampuan anak kita tidak hanya sebatas pada nilai-nilai rapor itu. Karya anak kita juga merupakan kemampuan mereka." - Bu Nur, hal.139.
Alwan kemudian mengobrol dengan Bu Nur yang diakhiri dengan pindahnya Bella ke SD Bunga Bangsa.
Di SD Bunga Bangsa, Bella mendapat predikat juara menggambar begitu pun seluruh siswa lainnya. Sekolah ini menghargai semua anak, karena semua anak adalah juara.
Waktu pun berlalu, Bella sudah bisa membaca karena kesabaran orang tua mengajarinya dan kini gadis itu duduk di kelas enam SD dan akan menghadapi ujian nasional.
"Saya sendiri cukup kaget dengan keluarnya surat edaran menteri ini. Sebab, menurut saya, malah tidak sesuai dengan undang-undangnya yaitu wajib belajar sembilan tahun. Lha, kalau SD saja ada ujian nasional dan yang tidak lulus tidak boleh meneruskan ke SMP, lalu apa artinya wajib belajar?" -Bu Nur, hal.164.
Nah, bisakah Bella dan teman-teman menghadapi ujian nasional? Apalagi Bella masih memiliki hambatan dengan perhitungan, matematika kan salah satu yang diujiankan?
Bakal luluskah Bella?
========================================================================
"Sekolah seperti mesin pencetak batu bata, yang menjadikan semua siswanya punya bentuk dan warna yang sama. Padahal, mereka berbeda satu sama lain. Kondisi seperti ini terjadi di banyak sekolah." Hal.80
"Sekolah unggul itu adalah sekolah yang menerima anak pandai, anak bodoh, anak baik, anak nakal, ataupun anak yang punya hambatan. Lalu, sekolah itu mampu menjadi agent of change. Mengubah yang negatif menjadi positif dan mempertahankan yang positif untuk terus baik selamanya." Bu Nur, hal.117
"Sungguh, setiap anak kita adalah juara. Kita harus mendengarkan kebutuhan mereka, ingin menjadi apa mereka kelak. Tolong, dengarkan suara anak-anak kita tentang masa depannya." Bu Nur, hal.187
========================================================================
Saya tertarik dengan buku ini sejak membaca sinopsisnya dan hap! Buku ini selesai saya lahap.
Saya banyak mendapat pelajaran dari novel ini terutama tentang pendidikan. Saya berharap sekolah seperti SD Bunga Bangsa ada di seluruh negeri, bisa juga sistem pendidikan di Indonesia harus seperti itu. Sekolah yang menghargai semua siswa, sekolah yang tidak 'mencetak batu bata' dan 'menyamaratakan cara belajar'.
Saya sendiri tipe yang tidak cocok dengan sistem pendidikan yang pernah saya lalui. Saya yang dominan otak kanan kurang suka dengan sistem otak kiri. Saya lebih suka visual dibandingkan belajar berdasarkan teks. Apalagi saya tidak mendapat apa yang ingin saya dapat di sekolah. Saya sangat suka seni musik, tapi sekolah saya yang hanya punya pelajaran kesenian dua jam seminggu itu tidak diisi dengan musik. Tatkala SMA, guru kesenian saya yang suka menggambar tidak pernah membahas musik padahal saya... sangat haus dengan ilmu musik.
Saya tidak pernah puas dengan pelajaran kesenian T_T. Lebih tidak puas lagi karena pelajaran yang tidak saya sukai (matematika dkk) porsinya banyak banget. Juga, sekolah saya tidak punya jurusan bahasa -saya sangat suka bahasa- dan saya harus rela dilempar ke jurusan ipa~.
Jika saja sekolah membebaskan murid-muridnya memilih pelajaran yang diminati sehingga bisa fokus menguasai bidang tertentu. Bukankah lebih baik fokus pada sesuatu dan menjadi ahli dibandingkan belajar banyak hal tapi tak ahli apa pun?
Yang sukses adalah orang yang ahli dalam bidangnya.
Karena nih novel punya testimoni dari orang-orang kompeten di bidang anak dan pendidikan -saya harap mereka benar-benar membaca, tidak menulis asal saja-, saya harap akan ada perubahan di sistem pendidikan Indonesia, menjadi lebih baik.
Satu kata untuk novel ini, rekomen!
Komentar
Posting Komentar