Warna Antara Hitam Dan Putih

Sinopsis :

Seorang pelukis jalanan dimintai bantuan oleh seorang pria untuk melukis orang-orang bertopeng kelinci yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan!.
Genre : Misteri, Drama, Psikologi. 



April 2018.
Orang-orang yang melihatku pasti memandangku dengan tatapan meremehkan. Kegiatanku sehari-hari hanyalah berada di jalan kecil dekat stasiun kereta, berteman dengan kanvas, kuas, cat air dan pensil. Setiap harinya aku hanya mengakrabkan diri dengan sketsa dan sketsa. Memindahkan apa yang aku lihat ke dalam kertas putih.
Dunia disekelilingku juga seperti kertas yang dihiasi arsiran pensil. Hitam dan putih. Dua warna yang saling bertentangan. Tak ada hitam dalam putih dan tak ada putih dalam hitam.
Dan pagi ini, seperti biasa aku duduk diatas tikar yang kugelar. Beberapa penduduk kota sudah ramai beraktifitas. Beberapa murid sekolah berjalan santai sambil sesekali mengobrol dengan teman-teman seperjuangannya, kemudian ada juga beberapa orang dewasa pekerja kantoran yang berjalan cepat agar tak ketinggalan kereta. Semuanya seperti berada diluar lingkaranku atau akulah yang sebenarnya berada diluar lingkaran mereka.

Aku mempersiapkan semua kebutuhanku. Kanvas, pensil, kuas, dan cat air kuletakkan didaerah yang bisa ku jamah. Tak lama kemudian tangan-tanganku mulai bergerak sendiri sembari mataku memandangi seorang ibu yang mengendong anaknya. Aku merekam gerakan ibu yang menggendong anaknya itu dan kemudian otakku mensinkronkan antara tangan dan mataku.

"Kakak, apa kakak adalah pelukis?". Seorang anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun dengan ransel dipunggungnya berdiri dihadapanku. Lalu seorang anak perempuan juga ikut mendekat, "Apa yang kakak lukis?" tanyanya.

Aku memperlihatkan lukisan ibu dan anak pada mereka. Dua wajah polos itu memandang lukisanku dengan takjub. "Lukisan yang indah! Seperti melihat foto" seru anak laki-laki. "Lebih indah jika ada warnanya kak" timpal yang perempuan.

Indah jika ada warna.

Aku menyadari aku tak bisa melihat warna selain hitam dan putih ketika jam pelajaran menggambar dan mewarnai waktu tk. Teman-temanku sangat antusias mewarnai menggunakan krayon. Aku sangat bingung, mengapa krayon berjumlah 12? Padahal warna hanya ada hitam dan putih. Soal sejak kapan aku bisa mengenal dan membedakan hitam dan putih aku tak ingat.

Selama pelajaran mewarnai, aku memperhatikan teman-temanku dan mengingat krayon-krayon yang mereka ambil.

"Hijau untuk pohon!."

"Kalau langit biru."

"Aku mau warna kuning untuk matahari!."

Tiap krayon dan warnanya ku beri label diingatan agar aku tampak normal dipandangan teman-temanku. Aku berbaur dengan mereka tanpa mereka tahu keadaan mataku.

Aku teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku duduk dibangku sekolah dasar. Aku dan teman-teman sekelas berkunjung ke sebuah museum. Ketika jam makan siang, aku mengajak temanku pergi mencari es krim. Ketika berada dipersimpangan jalan, temanku berteriak. "Lampu sudah hijau!!". Tapi aku tak peduli karena aku memang tidak bisa melihat warna pada lampu lalu lintas. Sebuah mobil meluncur dengan cepat dijalan yang sepi. Wuuuush. Aku berfikir saat itu aku akan berpindah ke alam lain tapi nyatanya tidak. Temanku berlari dan mendorong tubuhku sehingga tubuhnyalah yang terkena badan mobil dan terpental. Dia meninggal ditempat dengan darah yang berserakan. Aku hanya bisa memandanginya dalam diam.

Mataku membuat orang lain dalam masalah.

Saat itu tak ada yang tahu kalau aku tak bisa melihat warna selain hitam dan putih.

Mata ini sangat menyusahkan. Aku kehilangan seorang teman karena dia melindungiku.

"Apa kalian bisa membantuku memberi warna?". Aku mengambil cat air dan kuas, menyerahkannya pada dua anak kecil yang menjadi dua pelanggan pertamaku hari ini. Anak-anak itu dengan cepat mengangguk dan menyatukan antara kuas dan cat air. Dimataku, kuas-kuas itu hanya menyapukan warna hitam. Tapi tidak bagi mereka.

Aku tak pernah tahu warna apapun selain hitam dan putih. Aku hanya tahu nama-nama warna tapi tidak dengan warnanya.


"Bisakah kau melukis orang difoto ini untukku?". Kali ini seorang laki-laki berpostur cenderung kurus menghampiri lapakku. Pakaiannya serba hitam dan ia memakai masker. Ketika ia membuka maskernya, terlihat raut wajah yang tenang dan membawa kesan damai. Dia memberikanku seutas senyum sembari memperlihatkan sebuah foto seorang perempuan cantik berambut panjang.

Aku menerima foto itu dengan senang hati. Kemudian kubiarkan tangan-tanganku melakukan pekerjaan mereka. Meskipun pekerjaanku tak bisa memenuhi kebutuhanku, entah kenapa aku tak bisa meninggalkannya. Aku mencintai pekerjaanku ini. Aku suka melukis.

"Sebenarnya aku sering memperhatikanmu". Aku berhenti melukis untuk beberapa detik dan menoleh pada laki-laki itu. "Kau sudah melukis disini sejak 5 tahun yang lalu. Aku pindah ke kota ini juga sejak 5 tahun lalu. Rumahku didekat stasiun jadi aku selalu melihatmu dari jendela."

Tak ada kata-kata yang bisa aku keluarkan saat ini. Tiba-tiba ada seseorang yang asing mengatakan bahwa ia memperhatikanku sejak 5 tahun lalu benar-benar tak pernah terbayangkan dan tak pernah ada yang mengatakan hal seperti itu padaku. Orang ini, aku tak tahu harus berbuat apa pada kata-katanya.

"Wanita dilukisan itu adalah ibuku. Beliau sudah meninggal 5 tahun lalu. Sejak itu, aku menjadi penyendiri dan menutup diri pada dunia luar. Ini hari pertamaku keluar dari sarang yang selama ini menjadi tempat teramanku". Laki-laki itu menatapku dengan lurus tanpa berkedip. Aku menyudahi lukisanku dan balik menatapnya. "Aku tak tahu kenapa, tapi setiap kali aku melihatmu melukis aku merasa ada sebuah tarikan untukku keluar".

"Ada satu hal yang aku inginkan darimu".

Mata kami masih saling beradu dan nafasku tertahan.

"5 tahun lalu ibuku dibunuh didekat stasiun. Seorang saksi mengatakan ibu dibunuh oleh pria bertubuh tinggi kurus, pria itu memakai topeng kelinci diwajahnya. Seseorang kemudian ditangkap dan dijadikan tersangka. Orang itu juga dihukum mati. Tapi pembunuhan dikeluargaku tidak berakhir sejak itu. Bahkan beberapa hari yang lalu, anggota keluargaku dibunuh lagi oleh orang bertopeng kelinci. Kejadiannya didekat stasiun ini. Apa kau pernah melihat seseorang bertopeng kelinci? Karena kau sudah ada disini sejak 5 tahun lalu, seharusnya kau memiliki sesuatu petunjuk" jelas laki-laki tersebut. Aku meneguk ludah. Tiba-tiba laki-laki ini menjadikanku calon saksi dari sebuah tindak kriminal.

"Sebelum berbicara terlalu panjang. Bisakah kau menyebutkan namamu dulu?. Namaku Shirya Arela". Aku membungkukkan badanku dan memperkenalkan diri. Bagaimanapun sebagai seorang pedagang jasa melukis, aku harus tahu dengan pelangganku.

Laki-laki itu menundukkan kepalanya, "Maaf. Namaku Ragela Simondra".

Aku menyunggingkan senyum sembari memutar ingatan, mencari sosok manusia bertopeng kelinci dalam lima tahun terakhir. Begitu banyak orang yang berlalu-lalang dijalan ini, banyak juga yang berpenampilan aneh seperti memakai topeng.

"Maaf. Tapi aku tak ingat dengan seseorang bertopeng kelinci". Aku menyerahkan lukisan yang telah selesai pada Ragela. Dia memandangi lukisan itu dengan penuh khidmat kemudian ia tersenyum tipis. "Lukisanmu sangat indah seperti foto, persis. " pujinya. Aku tak mengubris pujiannya dan langsung memintanya membayar atas jasa yang telah aku lakukan. Ragela memberikanku uang sebesar Rp.150.000 yang bagiku begitu mahal -berkali-kali lipat- dari harga jasaku biasanya. Dari ceritanya, dia bilang dia penyendiri dan menutup diri dari dunia luar. Tapi mengapa ia bisa memiliki uang?. Ah, tapi itu bukan urusanku.

"Jika ada seseorang yang mencurigakan terutama memakai topeng kelinci. Tolong lukis dan kemudian serahkan padaku". Ragela mengeluarkan secarik kertas dan mengambil pensilku. Dia menuliskan sebuah nomor. "Hubungi aku jika kau menemukan orang itu".

Aku melihat ke nomor yang tertera dikertas yang kini ada digenggamanku. Aku melirik Ragela, "Sebenarnya siapa kau? Seorang detektif yang menyamar?".

Ragela menggeleng. "Aku hanya seorang anak yang merasa harus menegakkan keadilan bagi para korban pembunuhan dikeluargaku. Dulu ayahku juga dibunuh 7 tahun lalu, kemudian 5 tahun lalu ibuku, 4 tahun lalu pamanku, dan yang baru-baru ini sepupuku. Pembunuh itu pasti pembunuh bayaran yang mengincar keluargaku dan aku harus menyelamatkan anggota keluarga yang lain sebelum pembunuhan terjadi lagi". Wajah tenang Ragela berubah menjadi sangat serius dan menakutkan. Kurasa dendam dan rasa keadilannya telah bercampur menjadi satu. Jika ia bertemu dengan pelaku pembunuhan saat ini, aku yakin dia pasti akan membunuhnya.


Juni 2018. 

Pandangan mataku tertuju pada suatu poster yang tertempel didinding sepanjang jalan. FESTIVAL SENI 2018.

"Kak Shirya, aku akan ikut serta dalam festival seni."

"Aku juga kak Shirya!."

Aku tersadar dari lamunan ketika dua anak kecil menghampiriku. Mereka adalah dua pelanggan setiaku sejak dua bulan yang lalu. Yang laki-laki bernama Blueray dan yang perempuan adalah Cheza. Kedua kakak beradik itu selalu mengunjungi lapakku untuk melihatku melukis. Mungkin bagi mereka, aku yang melukis ini adalah hiburan tersendiri. Aku juga tidak keberatan dengan hal itu. Aku suka melihat tatapan anak-anak ini ketika menyukai hasil lukisanku. Mereka berdua juga seperti teman bagiku. Mereka membawakanku banyak cerita setiap harinya dan terkadang dari cerita mereka aku berimajinasi dan menuangkannya ke dalam lukisan.

"Apakah kak Shirya bisa menggambar kelinci?" tanya Blueray.

"Kelinci? Untuk apa?" tanyaku balik. Mendengar kata kelinci membuat otakku merespon dengan lebih cepat dan waspada. Ya, sejak Ragela memintaku memantau seseorang yang memakai topeng kelinci aku jadi sensitif dengan 'kelinci'.

Cheza menjawab pertanyaanku dengan antusias. "Kami akan mengadakan parade. Dan semua anak harus memakai topeng kelinci. Kami ingin membuat topeng sendiri agar unik".

"Kami bermaksud meminta kakak menggambar kelinci dikertas yang tebal. Kami akan memakainya minggu depan" sambung Blueray.

"Parade apa? Mengapa harus memakai topeng kelinci?."

Blueray dan Cheza saling berpandangan bingung. "Entahlah. Kepala sekolah baru bilang parade ini adalah bagian festival seni. Beliau juga penggemar kelinci, mungkin karena itu topengnya kelinci" seru Blueray.

Cheza memandangku, "Disekolah terdapat tempat memelihara kelinci. Banyak sekali kelincinya. Sekarang kami sibuk bermain dan merawat kelinci. Sayang kelincinya nggak boleh dibawa kemana-mana."

"Aku akan mencoba melukis dikertas tebal. Datanglah tiga hari lagi untuk mengambil topeng kelinci kalian" sahutku. Blueray dan Cheza membalasku dengan senyum mengembang sebelum mereka berlalu.

Dengan cepat aku menghubungi Ragela menggunakan telepon umum didekat stasiun. Aku memberitahunya tentang parade sekolah dasar mengenakan topeng kelinci.


Pertama kalinya aku melihat parade adalah saat ini. Ketika banyak manusia berkumpul hanya untuk melihat orang-orang yang memakai sesuatu yang unik seperti rombongan anak sd yang mengenakan topeng kelinci dan menari-nari dijalan. Kemudian ada juga kendaraan-kendaraan yang dihias dan dibentuk sedemikian rupa. Cantik sekali.

Dari jarak beberapa meter, suara musik pengiring parade sudah terdengar. Tapi seberapa ribut jalanan, aku tak bisa menghentikan diri dari melukis. Tanganku tetap setia dengan alat-alat lukis. Diantara sekelompok orang yang menyaksikan parade, terdapat Ragela yang memakai masker. Ia ingin melihat rombongan orang yang bertopeng kelinci. Sebenarnya ia pernah satu kali melihat orang bertopeng kelinci yang membunuh ayahnya 7 tahun lalu. Saat itu ia dan ayahnya sedang dalam perjalanan dari taman hiburan. Ketika mereka mampir ke sebuah restoran untuk makan malam, ayahnya ditarik oleh seseorang bertopeng kelinci lalu beberapa detik kemudian terdengar erangan. Ragela yang berusia 11 tahun waktu itu hanya terdiam membisu karena tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sendiri hampir dibunuh jika petugas keamanan restoran tidak melindunginya. Petugas keamanan itu terkena sabetan pisau dan meninggal ditempat. Nyawa orang tak bersalah harus hilang karena melindungi orang asing.

Ketika aku mendengar kisah itu, aku melihatnya seperti melihat diriku. Seseorang meninggal karena melindungi. Temanku meninggal melindungiku sebagaimana petugas keamanan itu meninggal karena melindungi Ragela. Perasaan bersalah seperti itu tidak akan pernah bisa hilang seumur hidup kami. Ya, seumur hidup perasaan seperti itu akan selalu mengikuti.

"Kelinciku kelinciku kau lucu sekali...."

Nyanyian anak-anak yang memakai topeng kelinci sambil menari terdengar lantang dan bersemangat. Aku segera mengenali Blueray dan Cheza dari topeng yang mereka kenakan. Mereka menggenakan topeng yang aku lukis meskipun aku tak menambahkan warna pada topeng mereka. Mereka juga tidak bersedia menambahkan warna.

Aku melirik ke arah Ragela yang terlihat waspada saat rombongan kelinci lewat. Diantara para kelinci yang lewat, terdapat seorang wanita bertubuh tinggi dan ramping yang berada di belakang barisan. Satu-satunya orang dewasa diantara anak-anak. Kemungkinan besar wanita itu adalah kepala sekolah yang terobsesi dengan kelinci seperti perkataan Blueray dan Cheza.

Terlihat sangat jelas mata yang penuh keingintahuan dari Ragela ketika ia melihat wanita bertopeng kelinci itu. Aku juga merasakan keingintahuan yang sama. Secara otomatis otakku memerintahkan tangan dan mataku bergerak, memindahkan potret wanita itu ke dalam lukisan. Aku hanya ingin melukisnya entah mengapa.

Ketika parade selesai, Ragela mendekatiku dengan wajah yang dipaksa untuk tenang. "Shirya, Apakah kau melukis wanita bertopeng kelinci?" tanyanya. Aku segera mengambil sebuah lukisan dan memberikannya pada Ragela. Ragela memandang lukisan itu tanpa berkedip. "Sebenarnya aku tak tahu pasti gender pembunuh itu. Aku juga tak ingat dengan warna atau motif topengnya."

"Bagaimanapun kau tak bisa menuduhnya atau berprasangka buruk tentang seseorang yang bahkan tak kau kenal" sahutku. Ragela menatapku, "Bisakah nanti kau memberikan warna pada topengnya? Motif yang kau lukis ini benar-benar seperti yang ku lihat tadi. Sudah kuduga kau adalah pelukis jenius".

Nafasku terasa tertekan untuk sekian detik. Dia mengatakanku jenius padahal dia tak tahu apa-apa soal diriku. Soal kelemahanku.

"Saat aku melihat lukisan-lukisan yang kau pajang, sejak 5 tahun lalu itu. Aku sudah tahu kalau kau adalah pelukis berbakat. Seharusnya tempatmu bukan dijalanan" lanjut Ragela. Aku menelan ludahku dan menundukkan kepala, "Maaf. Aku tak bisa memberikan warna pada apa yang aku lukis".

"Duniaku hanya hitam dan putih" sambungku pelan. Ragela memasang wajah tak mengerti, atau mungkin ia hanya tak percaya dengan apa yang barusan aku katakan. "Aku buta warna sejak lahir". Aku mendongakkan kepala dan berkata dengan tegas. Ya, aku harus membiarkan kelemahanku terekspos untuk seseorang yang sudah salah paham denganku, untuk seseorang yang salah sasaran memujiku. Aku sama sekali tidak jenius dan tidak berbakat.

Ragela menyunggingkan seutas senyum dan menepuk bahuku. "Baiklah, kalau begitu aku akan memberikan warnanya. Hari ini aku pulang dulu untuk menyelidiki wanita dilukisan ini".

"Sebenarnya siapa kau?" tanyaku penasaran. Ragela hanya menyeringai, "Seseorang yang mencari keadilan untuk keluarganya yang terbunuh".


Agustus 2018. 

Wajah kedua bocah itu terlihat sangat sedih dan pucat. Aku menawarkan dua batang coklat pada mereka.

"Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi?" tanyaku. Blueray dan Cheza saling melirik.

"Kepala sekolah kami meninggal. Orang-orang dewasa bilang beliau sakit tapi dikoran, televisi dan internet mengatakan kalau kepala sekolah meninggal karena dibunuh" jelas Blueray dengan wajah ketakutan. "Kelinci-kelinci dikandang sekolah juga mati karena diberi racun pada makanan mereka" timpal Cheza dengan tubuh gemetaran.

"Apakah polisi datang ke sekolah kalian?".

"Ya".

"Kelihatannya perbicangan kalian begitu serius dan menyeramkan". Suara Ragela terdengar, ketika aku menolehkan kepala ke arah kiri tampak wajah Ragela. Ragela melepaskan maskernya dan menatap Blueray dan Cheza. "Mereka adalah Blueray dan Cheza. Dua pelanggan setiaku."
" Aku Ragela" balas Ragela cepat.


"Shirya, apa kau menemukan sesuatu petunjuk?". Ragela memandangku dengan tatapan penuh harap. Aku mengeluarkan beberapa lukisan dan menunjukkannya pada Ragela. Dengan sigap Ragela mengambil dan melihat-lihat lukisan orang bertopeng kelinci yang lewat dijalan ini sepanjang juli-agustus. Dari apa yang kulihat, hanya ada tiga orang yang memakai topeng kelinci selama satu bulan ini. Dua diantaranya adalah perempuan dan satu laki-laki. Motif topengnya berbeda satu sama lain. Aku tak tahu mengapa ada orang yang memakai topeng kelinci ditempat umum. Tapi jika ada tiga orang, apakah ada sesuatu dibalik topeng kelinci?. Sebuah tanda perkumpulankah?.

"Oke. Hubungi aku lagi jika kau memiliki petunjuk yang lain". Sebelum Ragela meninggalkanku, aku menahan dan menarik tangannya. "Ragela, apa kau tahu sesuatu tentang kematian kepala sekolah anak-anak ini? Wanita itu bertopeng kelinci dan terobsesi dengan kelinci. Apakah ada hubungannya dengan kasus yang kau selidiki?" tanyaku.

Ragela menembus ke dalam mataku dengan tatapannya yang kelam dan tenang. "Aku tak tahu".

"Apa kau melakukan sesuatu?"

"Aku tak melakukan apapun kecuali menegakkan kebenaran"

"Kau melakukan sesuatu"

"Mungkin"


September 2018 

Tiga pembunuhan berantai terjadi lagi dikota ini. Kali ini korbannya adalah seorang mahasiswi, seorang wanita karir dan seorang pegawai. Ketiga korban tersebut adalah tiga orang yang aku lukis beberapa waktu yang lalu. Para pemakai topeng kelinci.

Perlahan, rasa curigaku terhadap Ragela tumbuh dan berkembang. Bagaimana bisa orang-orang yang aku lukis mati terbunuh?. Apakah Ragela yang melakukannya?.

Aku ingin menyelidikinya. Tapi, dia bilang dia selalu memperhatikanku sejak 5 tahun lalu. Itu artinya dia bisa melihatku. Dia tinggal di daerah sekitarku membuka lapak. Jika aku meninggalkan lapakku, dia akan menyadarinya. Aku tak bisa menyelidiknya.

Ragela seorang pembunuh kah?.

Ketika aku sibuk berfikir, aku melihat seseorang memakai topeng kelinci. Dengan cepat aku berlari, menarik tangannya dan membuka topeng yang menutupi wajahnya. Wajah yang terlihat dihadapanku saat ini adalah seorang wanita muda yang sangat cantik hingga aku terpesona meskipun aku seorang wanita. "M-maaf". Aku mengajak wanita itu ke lorong yang sempit, jauh dari tempatku membuka lapak. Jangan sampai Ragela melihat wanita ini.

"Mengapa anda memakai topeng kelinci?".

Wanita itu mendelik ke arahku. Mungkin pertanyaanku begitu aneh, apalagi aku tiba-tiba menyeretnya kesini.

"Seseorang memberikanku topeng ini. Aku memiliki pandangan mata yang buruk sehingga aku harus memakai topeng ini".

"Pandangan mata yang buruk?"

"Ya. Mataku rusak sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas. Seorang profesor memberiku topeng kelinci yang  dipasangi alat-alat canggih agar penglihatanku jadi lebih jelas, kurang lebih seperti itu".

"Mengapa tidak memakai kacamata?"

"Profesor itu belum berhasil mengembangkan kacamata yang canggih seperti topeng ini".

"Siapa profesor yang kau maksud? Apakah bisa menyembuhkan buta warna?"

"Ah, kau buta warna ya? Ya. Ada juga yang buta warna dilaboratorium. Tapi untuk mendapatkan topeng ini kau harus memberikan sesuatu pada profesor".

"Apa yang harus kuberikan?"

"Mata orang lain yang masih hidup, atau dengan kata lain mata orang lain yang kau bunuh"

"M-maksudmu kau harus mengambil mata orang lain? M-membunuh orang? Bagaimana bisa kita membunuh dan menggunakan matanya!."

"Ya begitulah. Aku mengorbankan mata seorang wanita 5 tahun lalu. Kami bertemu disebuah pusat perbelanjaan dan dia membantuku yang memiliki keterbatasan dalam melihat. Saat itu aku menyukai matanya yang indah, lalu aku membunuhnya dan mengambil matanya. Ah, aku bukan mengambil tapi menukarnya dengan mataku. Mataku ditanamkan dimatanya dan matanya dimataku. Lalu untuk merawat mata baru, profesor memberikanku topeng kelinci. Topeng itu memiliki obat-obat untuk membantuku terbiasa dengan mata baru."

Aku memandang wanita muda yang matanya terlihat kosong itu. Aku tahu alasannya, matanya bukan mata aslinya. Itu adalah mata seseorang yang dibunuhnya. Dan ketika ia tak memakai topeng kelincinya, ia seperti kehilangan kehidupan dalam matanya.

Apakah hal seperti ini benar-benar terjadi?.

Bisa-bisanya seseorang membunuh orang lain untuk diri sendiri?.

Aku menyerahkan kembali topeng kelinci itu. Wanita itu segera memakainya dan tersenyum lega. "Jika kau mau bebas dari buta warna. Kau bisa datang ke profesor, tapi ingat bawa mata orang lain yang kau bunuh". Wanita itu membisikkan angka-angka ke telingaku kemudian berlalu.


Oktober 2018.  

Ketika hujan telah selesai, maka pelangi yang cantik akan muncul. Tapi bagiku sama saja, tak ada yang istimewa dengan hujan yang reda ataupun pelangi yang muncul. Langit tetap saja bewarna putih bercampur hitam. Tak ada yang indah diduniaku yang hanya hitam dan putih. Atau mungkin aku saja yang menolak keindahan dari hitam dan putih.

Ragela mengunjungiku sambil membawakanku kue pelangi. Dia bilang sekarang dia bekerja paruh waktu di sebuah toko kue. "Apa kau bisa membantuku melabeli warna pada cat air?" tanyaku sambil mengunyah kue yang dia hidangkan. Ragela mengangguk cepat dan mengambil cat airku.

"Ini merah, biru, kuning. Yang ini hijau,....."

Aku segera mengambil kertas dan mencatat urutan warna yang ada diwadah cat air. Meski aku memiliki cat air, sebenarnya aku sudah sangat lama tidak menggunakannya. Semenjak tak ada seorangpun yang bisa kutanyai soal warna. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal karena kecelakaan sementara saudaraku berada diluar kota. Aku hanya tinggal seorang diri selama lima tahun terakhir ini dirumah peninggalan orang tua. Setiap bulan saudaraku mengirimiku uang, dia cukup sukses dengan restorannya di usia yang masih muda. Sebenarnya dia mengajakku tinggal bersamanya, tapi aku tak tega meninggalkan kota ini. Aku tak tega meninggalkan aktivitas melukisku dijalan dekat stasiun ini.

Dan kini aku punya tujuan lain. Aku tak tega meninggalkan Ragela dan tugas yang ia berikan padaku.

Saat aku memikirkan tentang mata, pembunuhan, dan topeng kelinci. Jika Ragela membunuh para pemilik topeng kelinci, bukankah itu berarti dia membunuh pembunuh?. Bagaimanapun para pemilik topeng mendapatkan topeng itu dengan membunuh seseorang untuk mendapatkan mata mereka.

Apakah yang dilakukan Ragela benar?

"Ragela, apakah kau tahu sesuatu mengenai topeng kelinci?". Ragela menatapku penuh selidik. Dia mungkin heran mengapa aku tiba-tiba membicarakan hal ini.

"Aku hanya tahu topeng itu topeng yang dipakai pembunuh anggota keluargaku."

"Apakah keluargamu yang terbunuh adalah sebuah kebetulan? Apakah sebuah kesengajaan?."
Ragela menggelengkan kepala.

"A-a-apakah kau membunuh mereka?". Kali ini aku memejamkan mataku karena takut mendengar jawaban Ragela. Aku sendiri juga takut dengan pertanyaanku. Ah, jawaban Ragela mungkin akan merubah hubungan kami. Mungkin kerjasama ini akan berakhir disini, atau mungkin aku akan dibunuh.

"Shirya, jika aku seorang pembunuh bagaimana?". Ragela melemparkanku pertanyaan yang membuatku menatapnya. "Tak seharusnya seorang manusia membunuh manusia yang lainnya".

"Aku tak membunuh siapapun" tegas Ragela. Tebersit rasa lega dihatiku meski sekejap mendengar kata-katanya yang tanpa keraguan. "Tapi aku mengambil topeng-topeng mereka. Dan kemudian mendadak mereka menjadi aneh seperti kehilangan penglihatan atau mengalami gangguan dalam melihat."

Aku menatap mata Ragela, menunggu cerita selengkapnya.

"Ketika aku mengejar kepala sekolah Blueray dan Cheza. Aku mengambil topengnya ketika ia lengah, kemudian dia marah dan mengejarku. Dia terjatuh dari tangga ketika mengejarku. Dan soal kelinci-kelinci yang mati karena racun itu, sebelumnya wanita itu salah memasukkan obat. Dia memasukkan obat pada makanan kelinci, ia mengira obat itu vitamin."

Ragela memberikanku sebuah senyuman sembari ia memasukkan kue pelangi ke dalam mulutnya. 


"Kemudian untuk ketiga lainnya. Mereka juga sama, ketika aku mengambil topeng kelinci mereka, mereka panik. Sang mahasiswi berlarian dan kemudian tewas tertabrak. Wanita karir itu mengancamku dengan pisau saat aku mengambil topengnya, tapi ia terjatuh dan akhirnya pisau itu menancap ke jantungnya. Dan untuk pegawai, dia tewas karena jatuh ke sungai saat mengejarku. Jadi intinya, mereka tewas karena kecelakaan."

"Dan pers menyembunyikan beberapa fakta dari publik. Seperti menyebutkan wanita kepala sekolah itu tewas karena sakit, dia mengalami halusinasi sehingga jatuh dari tangga. Mereka juga menyembunyikan fakta mengenai topeng kelinci yang kuletakkan disamping mayat orang-orang malang itu. Menurutmu, mengapa topeng kelinci itu disembunyikan dari publik?".

Mataku menusuk jauh ke dalam mata Ragela. "Sebenarnya aku mengetahui sesuatu...".


November 2018.  

Aku memberikan alamat laboratorium seorang profesor yang kudapatkan setelah menghubungi nomor wanita yang memakai topeng kelinci beberapa bulan sebelumnya pada Ragela. Kemudian, dengan cepat Ragela membuat sebuah skenario untuk menjebak sang profesor dan menghentikan percobaannya.

Dan ketika aku membuka mata saat ini, aku telah berada di laboratorium profesor. Tentu saja aku membawa mata, mata-mata yang tak lain tak bukan adalah aku.


Profesor yang berdiri dihadapanku saat ini benar-benar seperti gambaran profesor pada umumnya. Berpakaian serba putih, kepala botak dan berwajah haus pengetahuan. Setelah mendengar tujuanku, dia segera membawaku ke sebuah ruangan yang memiliki banyak tabung-tabung dan alat-alat yang tak ku tahu namanya.

Lalu, dengan wajah antusias dia mendataku.

"Profesor. Apakah saya harus menyerahkan mata orang hidup pada anda?"

Profesor itu tertawa, "Mana bisa anda menyerahkan mata orang hidup. Anda harus menyerahkan mata orang hidup yang anda bunuh. Sebenarnya, itu sama saja dengan mata orang mati."

"Kalau begitu, apakah boleh saya menggunakan mata orang mati atau mata orang yang mendonorkannya?".

"Itu nggak asyik". Mata Profesor itu menggeliat dan bercahaya, "Lebih asyik jika kau mendapatkan mata yang bagus dengan tanganmu sendiri daripada mata orang mati atau donor mata. Tak ada sensasi perjuangannya". Profesor itu mengambil sebuah senter, kemudian mengarahkannya pada mataku. Tak lama kemudian, ia menyuruhku melakukan beberapa tes dengan menggunakan alat-alat canggihnya.

"Nona Shirya Arela, bagaimana perasaanmu menderita buta warna selama 20 tahun ini?".

Aku tersenyum kecut, "Rasanya dunia hanya terbagi menjadi hitam dan putih saja. Pandanganku menyempit dan tidak seluas orang normal yang melihat dunia dengan berbagai macam warna".

Profesor terkekeh, "Dulu aku memiliki cucu yang menderita buta warna. Saat disekolah, dia diejek oleh teman-temannya karena tak tahu warna selain hitam dan putih. Kemudian suatu hari cucuku mencekik teman yang mengejeknya. Sejak saat itu dia semakin dijauhi dan akhirnya dia mengurung diri dikamarnya. Ia membuang semua alat menggambar. Dia bilang warna adalah hal yang menyakitkan dan dia mengutuk dirinya yang tak bisa melihat banyak warna. Kedua orang tuanya berusaha menghiburnya, tapi tak berhasil."

Mata Profesor itu terlihat lebih sendu, dia melanjutkan kata-katanya lagi. "Setiap kali mendengar ejekan tentang cucuku, aku jadi semakin bersemangat untuk membuatnya bisa melihat warna. Dan aku memulai riset mengenai penanaman mata normal pada penderita buta warna. Aku menggunakan mata teman yang suka mengejeknya saat percobaan pertamaku. Saat itu usia cucuku 5 tahun."

Aku menahan nafas. Profesor ini melakukannya pada seorang anak kecil?.

"Aku sudah melakukan riset selama 13 tahun dan masih belum sempurna. Aku masih harus menggunakan topeng kelinci untuk menanam peralatan untuk memastikan mata pengganti berfungsi dengan baik seperti mata pasien sebelumnya."

Profesor itu melihatku dengan tatapan bahagia, "Nah. Mana mata yang harus kutanamkan padamu?".

"A-aku belum membawanya. A-aku..."

"Kau tak berani membunuh seseorang untuk mendapatkan matanya?". Aku menundukkan kepala. Profesor itu hanya mengucapkan kata 'cih'.

"Baiklah, hari ini kuijinkan kau konsul dulu padaku. Tapi pertemuan selanjutnya aku berharap kau sudah membawa mata. Aku akan membuatkanmu minum dulu. Bagaimanapun, pasien adalah raja untukku".

Ketika Profesor itu meninggalkan ruangan, aku segera memperhatikan komputer yang hidup. Komputer itu menghubungkan alat-alat canggih dilaboratorium ini, sepertinya komputer ini otak dari segala alat disini.

Meski aku melihat dengan seksama layar monitor, aku sama sekali tak paham apapun.

Lalu aku melihat sebuah figura. Profesor bersama cucunya.

Ah, aku merasa familiar dengan wajah anak kecil di foto itu. Ya, guratan wajahnya sama dengan seseorang yang datang bersamaku dan bersembunyi disuatu tempat di laboratorium ini. Seseorang yang menugaskanku dalam skenario ini.

Ragela adalah cucu profesor ini.

Dengan bergegas aku keluar dari ruangan ini dan mencari Ragela.


"Ini tempat yang lama aku rindukan sekaligus aku benci". Begitu yang kudengar dari Ragela ketika kami bertemu dipintu masuk laboratorium.

"Ketika disini aku kembali teringat kenangan yang menyakitkan 13 tahun lalu. Saat kakek memaksaku berbaring dan membiusku. Dan waktu aku tersadar, mataku diperban. Kakek menangis sambil berkata semoga berhasil. Seminggu kemudian perbanku dibuka dan aku bisa melihat warna. Aku yang buta warna bisa melihat warna."

Ragela terduduk lemas dengan tangan yang gemetaran, dia memegang pipinya dengan gugup. "Tadi aku tak sengaja mendengarnya. Aku tak tahu kalau kakek melakukan hal itu pada temanku. Meski aku membenci teman yang mengejekku, bukan berarti aku ingin temanku terbunuh, apalagi mataku sekarang sebenarnya berasal darinya. Mataku ini sesuatu yang ada karena membunuh! Ini bukan mataku!". Ragela mulai terisak.

"Saat ini yang harus kita lakukan adalah menghentikan semua ini sebelum ada korban selanjutnya!" sahutku sambil menyodorkan tanganku padanya. Ragela menghapus air matanya dan menyambut uluran tanganku.

Profesor menyambut kami dengan wajah sumringah, dia sangat terkejut melihat Ragela.

"Rage, kemana saja kau selama 5 tahun ini? Kakek merindukanmu".

Mata Ragela terlihat kelam, "Karena percobaan kakek, Ayah, Ibu, Paman Aru dan Bnue terbunuh. Itu baru korban yang aku tahu, bagaimana dengan korban yang lainnya?".

"Menurutmu bagaimana perasaan kakek ketika tahu bahwa anak-anaknya, menantunya dan cucunya terbunuh oleh pasien yang menginginkan mata normal? Memangnya kakek tahu mereka hendak membunuh keluarga kakek? Memangnya kakek ingin anggota keluarga kakek terbunuh?" balas profesor dengan penuh emosi.

"Kemudian kenapa kakek masih memberi syarat gila? Mengapa harus membunuh orang untuk mendapatkan matanya?"

"Karena itu asyik!!! Aku tak bisa membohongi hasrat membedah mayat!!, Saat-saat menanamkan kembali mata pada mayat ataupun manusia hidup benar-benar telah membuatku gila. Aku mencintai hal itu dan tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti kemauan jiwa penuh dosa ini!".

Ragela mendekat ke arah Profesor dan menotoknya di tiga bagian. Sang Profesor jatuh pingsan dalam pelukan Ragela. "Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan meski itu menyakitkan" bisik Ragela lirih.


April 2019.

Laboratorium profesor aka kakeknya Ragela dibakar dan dimusnahkan oleh pemerintah sebagai permintaan ahli waris beberapa waktu lalu. Profesor divonis penjara seumur hidup karena perbuatannya. Para pemilik topeng kelinci lainnya juga ditangkap dan dipenjara seumur hidup karena telah membunuh orang lain.

Dan aku, tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Seperti 6 tahun yang lalu. Tapi kali ini aku tidak sendirian lagi, ada seseorang yang menemaniku.

Aku bagian melukis sketsa kasar, dan Ragela menjadi asistenku. Dia mewarnai lukisan-lukisanku.

Kemudian keajaiban terjadi, pelangganku bertambah karena lukisanku tidak dianggap suram lagi oleh mereka. Ah~ warna memang menjadikan sesuatu menjadi lebih menarik.

Bersyukurlah kalian yang bisa melihat banyak warna ^_^.

-The end-

Terima kasih telah membaca ^_^

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru