Kejujuran Ditukar dengan Uang

Beberapa minggu yang lalu.

Kejujuran bisa ditukar dengan uang.

Saya menggambarkan situasi 'suap menyuap' seperti itu. Siang kemarin saya pergi ke sebuah klinik untuk melakukan pendaftaran. Klinik ini biasanya ramai saban hari, karena itu saya mendaftar sehari sebelumnya. Siang ini saya dan sahabat saya datang pukul 1-an ke klinik tersebut. Kami mengecek nama kami, ok. Terdaftar.

Kami duduk. Mengantri menunggu panggilan. Pukul 2.30, kami memasuki sebuah ruangan. Kami memeriksa urutan, ingin tahu berapa lama lagi kami harus menunggu. 

Setelah dilihat, ternyata saya tinggal satu orang lagi, sementara sahabat saya dua orang lagi. Ok, kami menunggu diruangan tersebut karena berfikir, "Giliran kita sebentar lagi nih".

Ketika kami sedang duduk-duduk sambil memperhatikan mbak-mbak melakukan service ke para pelanggan, kami menyaksikan beberapa oknum yang berbuat curang. Ada orang-orang yang baru datang, dari penampilan sih kaya' orang kaya gitu. Dia mendekati seorang mbak-mbak, ngomong sebentar sambil ngasih kartu pelanggannya ke mbak itu. Ngomong bentar, trus dengan cepat dia memasukkan sejumlah uang ke kantong baju mbak-mbak itu. Ooooh, begitu caranya. 



Tak lama kemudian datang lagi mbak-mbak yang lain. Entah berapa banyak.

"Jadi ini penyebab ngantri lama banget? Banyak yang main belakang? Banyak yang `nitip`?"

Oooh.

Cerdas sekali.

Saat itu pukul 15.40, sahabat saya sudah pulang karena malas nunggu. Saya masih disini. Sampai detik ini nama saya belum dipanggil T_T. 

Pukul 16.30. Seorang mbak-mbak menghitung jumlah pengunjung yang menanti giliran diruangan tersebut. Ada empat orang termasuk saya. "Mbak, di handle siapa?" tanyanya pada saya. "Tidak tahu".

"Siapa yang kosong? Mbak yang pakai jilbab itu belum ada yang handle, yang lainnya sudah ada".

Saya mematung. 'Yang lainnya sudah ada'. Padahal semenjak saya ada diruangan ini, tak seorangpun memanggil nama. Semuanya sudah ada yang handle, telah jelas urutan dan dengan siapa. -_-. 

Pukul 16.45 giliran saya akhirnya tiba. "Mbak, namanya siapa?" tanya mbak yang menghandle saya. Saya menjawab cepat. Dalam hati saya ngedumel, "Makanya, jangan sibuk dengan 'langganan' saja". 

Saya selesai pukul 17.30. Saya bergegas meninggalkan ruangan. Wajah para mbak-mbak berseragam diruangan tersebut terlintas dipikiran saya.

"Jika hal seperti ini saja sudah tidak ada yang jujur, bagaimana kalau Tuhan memberi mereka pekerjaan yang lebih?".

Saya juga teringat dengan mbak-mbak atau ibu-ibu, atau adek-adek yang ogah ngantri.

"Jika hal seperti ini saja tidak mau jujur, bagaimana dengan hal lain?".

Manusia sudah semakin menurun tingkat moralitasnya *bahasanya tinggi amat -_-*.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mai Kuraki in the poetry

Apa Itu Premis, Logline, dan Sinopsis

Fase Baru